Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

28 Okt 2014

Memaknai Toleransi Dalam Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama

Oleh: Lukman

Muqaddimah
Dalam sejarah perjalanan hubungan antar ummat beragama di Indonesia, telah banyak diwarnai berbagai konflik, khususnya antar Islam dan Kristen. Sebut saja penyerangan dan pembakaran Yayasan Doulos Cipayung Jakarta Timur, pada 16 Desember 1999, peristiwa Ambon tahun 1999 dan yang paling hangat adalah peristiwa gereja Yasmin di Bogor. Yang mana ketika kita memperhatikan pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa tersebut, hampir semuanya menyudutkan Islam, ketidak tolerannya ummat Islam terhadap ummat lain dan lain sebagainya. Oleh karena itu segala upaya dilakukan untuk mewujudkan kerukanan antar ummat beragama di Indonesia, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga agama yang ada.
Adalah Prof Dr. Abdul Mukti Ali yang ketika itu menjabat Mentri Agama (1971-1978) sangat konsen dalam mewujudkan kerukunan ummat beragama di Indonesia. Setidaknya Mukti Ali mengajukan dua gagasan atau konsep yang sekaligus sebagai inplementasi dari pemahaman beliau terhadap tujuan ilmu perbandingan agama yang menjadi keahliannya.

a. Agree in Disagreemen
Konsep agree in disagreemen (setuju dalam perbedaan) adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, demikian yang diungkapkan Abdul Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima. Lebih lanjut Mukti Ali menuliskan bahwa hal ini sangat mungkin dapat dipraktekkan secara nyata karena meskipun kita telah mempunyai keyakinan yang kokoh tentang benarnya agama yang kita peluk, kita tetap bisa menghargai pengalaman-pengalaman keagamaan lain. Dan diantara agama yang satu dengan agama yang lain, selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Dengan pengertian inilah akan timbul saling harga menghargai antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. [1]

Sepintas gagasan Mukti Ali ini sangat menjanjikan kerukunan antar umat beragama, namun jika kita telaah lebih dalam dan seksama, sesungguhnya masih terdapat ha-hal yang masih samar, yang mana jika tidak diperjelas dan diurai secara utuh akan berakibat fatal. Berkut ini penulis akan mencoba mengurai hal-hal yang masih samar dari konsep agree in disagreemen Mukti Ali tersebut.
Konsep agree in disagreemen yang digagas oleh Mukti Ali ini, tidak dijelaskan secara rinci dari segi prinsip-prinsip dan penerapannya, sehingga siapapun yang menggunakannya dapat memaknainya sesuai pemahamannya. Hal ini tentu sangat menentukan arah dan hakekat dari konsep ini. Sehingga untuk menggunakannya pun pada Islam perlu ada pemaknaan ulang yang sesuai prinsip-prinsip konsep toleransi dalam Islam. Umat Islam tidak boleh berhenti pada ‘sependapat dalam perbedaan’ tetapi harus dilanjutkan dengan kewajiban da’wah.
Islam memiliki kewajiban da’wah, namun kewajiban da’wah itu tidak memaksa, da’wah Islam disampaikan dengan hikmah, mau’idzati al-hasanah dan mujadalah dengan cara yang baik. [2] Prinsip-prinsip da’wah Islam inilah yang menjiwai konsep toleransi dalam Islam. Bahwa toleransi Islam adalah menegakkan argumentasi, hujjah yang kuat tentang kebenaran namun jika tetap ditolak, tidak dipaksakan, barulah setelah itu kita dapat mengatakan apa yang termaktub dalam surat al-Kafirun ayat 6:

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Dan juga dalam surat al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”
Jadi prinsip utama toleransi dalam Islam adalah tidak memaksakan agama, bukan menerima kebenaran agama lain, yang dalam bahasa Hamid Fahmy Zarkasyi “toleransi tanpa pluralisme”. [3] Ajaran toleransi Islam ini bukan hanya terdapat dalam teks, tetapi telah dibuktikan dengan penerapannya dalam kehidupan da’wah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di Jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi SAW, karena konsep tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Di Madinah Rasulullah SAW telah berhasil membangun toleransi beragama melalui piagam Madinah, yang ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu Negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sangat jelas mengatur hubungan antara umat agama tersebut. Misalnya:
  • Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.”
  • Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.”
  • Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya. [4]

Pada periode Umar bin Khattab pun demikian, dalam sejarahnya Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika di bawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai. [5] Bahkan menurut Ahmad Syalaby, Salah satu faktor penyebab lahirnya ilmu perbandingan agama adalah karena konsep toleransi yang ada dalam ajaran Islam. Dimana konsep toleransi tersebut mengharuskan kaum muslimin memahami dengan baik agama-agama lain. [6]

Sehingga sangat disayangkan jika seorang Muslim mencari konsep lain untuk menyelesaikan problem yang dihadapinya, sedangkan Islam sudah memberikan solusi penyelesainnya. Problem kerukunan antar umat beragama bukanlah barang baru dalam Islam. Sejak lahirnya, Islam telah berhadapan dengan masalah hubungan dengan pemeluk agama lain. Konsep penyelesaian masalah tersebut pun sudah ada bahkan telah dipraktekkan secara gambalang oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dimasa awal-awal pertumbuhan Islam.
Upaya untuk mengkritisi ataupun memunculkan metode-motode baru dalam penyelesaian masalah kerukunan umat beragama tidaklah salah, akan tetapi kecenrungan untuk menghilangkan prinsip-prinsip dasar yang sudah digariskan oleh Islam adalah sesuatu yang sangat berisiko dan berakibat fatal. Karena sebenarnya konsep toleransi Islam ini masih sangat relevan untuk menjawab tantangan kerukunan umat beragama dewasa ini. Hanya saja umat Islam belum memahami konsep-konsep dalam Islam sendiri secara baik. Sehingga yang dibutuhkan adalah bagaiman kaum Muslimin lebih serius lagi dalam menggali kembali konsep-konsep penting tersebut dan mengembangkannya dalam konteks situasi masa sekarang, tanpa mendekonstruksi prinsip-prinsip ajaran Islam.

b. Dialog Anatar Umat Beragama
Dalam pandangan Mukti Ali, keberadaan materi ilmu perbandingan agama di Indonesia telah banyak membantu memudahkan pelaksanaan dialog antar umat beragama dinegri ini. Oleh karena itu Mukti Ali (sejak tahu 1969) mencoba menggagas konsep kerukunan umat beragama melalui dialog. [7] Menurutnya dialog bukan hanya saling memberi informasi, mana yang sama dan mana yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya. Dialog antaragama juga bukan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan kepercayaannya, dan menjadikan orang lain mengubah agamanya kepada agama yang ia peluk. Juga tidak dimaksudkan untuk konversi, mengasung orang lain agar menerima kepercayaan yang ia yakini.
Lebih lanjut, Mukti Ali menyatakan bahwa dialog juga bukanlah berdebat adu argumentasi antara berbagai kelompok pemeluk agama, hingga ada yang menang dan ada yang kalah. Akan tetapi dialog antaragama adalah pertemuan hati antarpemeluk berbagai agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerja sama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. [8]
Dialog yang dimaksud Mukti Ali seperti yang disebutkan di atas, bila ditelisik lebih seksama, sesungguhnya mengandung kerancuan-kerancuan yang sangat fatal. Sebagai seorang Muslim seharusnya semua perbuatan dan tindak laku kita senantiasa mengikuti apa yang telah digariskan oleh Islam. Kalaupun dilakukan pengembangan dan kreativifitasi dalam metode sebagai tuntutan zaman, tetap tidak dibenarkan untuk mereduksi ajaran-ajaran Islam yang sudah final.
Tentang dialog antarumat beragama, Islam telah menggariskan dengan jelas, bahkan dalam tataran praktis telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai contoh adalah dialog beliau dengan orang-orang Yahudi tentang kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Orang-orang Yahudi yang diwakili oleh Mahsur bin Subhan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW: “Apa bukti bahwasanya Al-Qur’ân itu berasal dari Allah?” maka turunlah ayat 82 surat An-Nisa:

“…Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Setelah melalui perdebatan dan perbandingan ajaran Islam dan agama-gama mereka, banyak diantara mereka yang kemudian memeluk Islam seperti Abdullah bin Salam, Sa’labah bin Sa’id, Asad bin Ubaid dari golongan Yahudi dan kaum Nashara Najran. [9]
Bertolak pada pandangan Islam terhadap agama lain, bahwa agama-agama tersebut adalah penyimpangan terhadap agama yang haq, maka mengajak mereka kepada Islam adalah suatu kewajiban, menunjukkan kepada mereka penyimpangan-penyimpangan aqidahnya di atas argumentasi dan bukti-bukti yang tak terbantahkan, tentunya dengan hikmah dan ahsan. Firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….”

Dan Firman-Nya dalam surat al-Ankabut ayata 46:

“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,…”

Meskipun demikian, bukan berarti kaum Muslimin diperbolehkan memaksa mereka meninggalkan keyakinannya dan memeluk Islam, Allah menegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”

Sehingga adalah tuduhan yang sangat gegabah, bila mengatakan bahwa karena fanatisme agama (Islam) mengakibatkan ketegangan dan konflik antar umat beragama. Benar kaum Muslimin diperintahkan untuk mengajak mereka kepada kebenaran, akan tetapi tidak dibenarkan memaksa mereka masuk Islam. sebaliknya semakin kuat keyakinan seorang Muslim terhadap agamanya akan menimbulkan sikap toleran yang semakin tinggi pula.
Jadi dialog dalam Islam adalah dalam rangka da’wah, mengajak kepada Islam, agama yang diridhai Allah SWT dan melepaskan aqidah mereka yang menyimpang. Tidak seperti yang dimaksudkan oleh Mukti Ali bahwa dalam melakukan dialog tidak dibenarkan memiliki agenda tertentu dan tujuan yang dirahasiakan.
Selain itu Mukti Ali juga menyebutkan beberapa bentuk dialog agama. Bila kita kritisi dari sudut pandang Islam juga tidak luput dari kekeliruan yang sangat fatal. Misalnya ia menyebutkan bentuk dialog komunikasi Pengalaman Agama, yaitu dialog antaragama melalui komunikasi pengalaman agama , do’a dan meditasi. Ingat kepada Tuhan, tafakkur dan zikir kepada Tuhan, puasa dan bentuk-bentuk latihan lain untuk menguasai diri. Mukti Ali mencontohkan ada pertapa-pertapa Katolik dan pertapa Budha mengadakan dialog intermonastik dimana beberapa minggu lamanya menginap di pertapaan lainnya, untuk dapat memperoleh pengalaman keyakinan dan untuk mempelajari bagaimana kehidupan pendeta-pendeta lain, bagaimana berpuasa, berdo’a dan sebagainya. Demikian juga Dialog Untuk Do’a Bersama, yang mana dihadiri oleh berbagai kelompok agama yang beraneka ragam.
Tentu pandangan seperti ini tidak dapat diterima dalam Islam. mengikuti ritual agama lain dengan dalih apapun tidak akan pernah dibenarkan, meski ia adalah seorang ulama, berilmu tinggi dan beraqidah yang kokoh. Contoh yang sangat baik pernah tunjukkan oleh Nabi SAW, ketika kaum kafir Quraiys mengajak Rasulullah SAW untuk menyembah berhala mereka selama satu tahun, setelah itu mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun pula, namun Rasulullah SAW menolaknya. Allah SWT menurunkan surat al-Kafirun yang di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan. [10]
Demikian pula yang tergambar dalam firman Allah STW, surat al-Isra’ ayat 73-74:

“Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu Hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.

Fenomena dialog antar agama dewasa ini, sebagaimana juga yang dianjurkan dan digagas oleh Mukti Ali bukanlah termasuk yang dibolehkan dalam Islam. Karena dialog agama yang ada lebih condong pada pemasungan kesyumulan Islam dan berusaha mereduksi ajarannya. Mereka selalu berdalih untuk mencari titik persamaan agama sebagai solusi konflik yang sering terjadi, seperti semua agama mengajarkan kebaikan, keadilan, kedamaian, dan cinta kasih. Mereka ingin mengajarkan toleransi beragama pada umat Islam, namun cara yang ditempuh mengharuskan mereduksi sebagian ajara-ajaran Islam yang sudah tsabit (aqidah). Pada sisi yang lain, titik persamaan agama yang dicita-citakan pun adalah sesuatu yang mustahil, karena setiap agama memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda-beda. Konsep Tuhan dalam Islam yang monotheisme jelas berbeda dengan konsep Tuhan Kristen yang menganut konsep trinitas. Hukum hudud dalam Islam adalah wujud keadilan, kebaikan, dan kedamaian, namun itu akan dianggap tidak berprikemanusiaan, barbar dan sebagainya oleh pemeluk agama lain.
Ini dapat dipahami karena memang gagasan dialog antara agama sejak awal bermasalah. Muncul pertama kali tahun 1932 saat Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan para tokoh ulama Al-Azhar di Kairo. Pertemuan itu sengaja dirancang untuk membincangkan mengenai ide penyatuan tiga agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan Konferensi Internasional yang menghadirkan para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas terkemuka di dunia. Konferensi itu diselenggarakan di Paris pada tahun 1933. Tidak lama kemudian, diadakan lagi Konferensi Agama-Agama sedunia tahun 1936. Dialog agama dibangun dengan semangat teologi inkluvisme Kristen.
Pasca perang dunia II, tahun 1964 Paus Paulus VI menulis risalah untuk mengaktifkan kembali dialog antar agama. Pada dasarnya, motif yang melatarbelakangi diadakannya dialog antar agama tersebut tidak lain adalah untuk meredam perbedaan prinsipil yang terkandung dalam masing-masing agama. Dialog dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang sifatnya relative, sehingga setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa ajaran merekalah yang paling benar. Dialog diadakan agar tidak ada lagi satu agama yang memonopoli kebenaran. Kebenaran tunggal harus dihapuskan dan yang ada hanyalah kebenaran relative. [11]
Maka dapat disimpulkan bahwa upaya dialog antar agama yang diusung oleh Mukti Ali sebagai solusi konflik antar umat beragama, tidak sesuai dengan dialog yang diperbolehkan dalam Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.
.................................................................
[1]Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima), hlm. 8

[2]Lihat Q.S Al-Nahl ayat 125

[3] Baca Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012, hlm. 156

[4] Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, dalam Makalah Adian Husaini, Piagam Madinah dan toleransi Beragama, http://insistnet.com/

[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, hlm. 161

[6] Ahmad Syalabi, al Yahudiyah, hlm. 27

[7] Dalam tulisannya Mukti Ali menyebutkan bentuk-bentuk dialog: Dialog Kehidupan, Dialog dalam Kegiatan Sosial, Dialog, komunikasi Pengalaman Agama, Dialog Untuk Do’a Bersama, Dialog diskusi Teologis, Lihat Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, dialog, Dakwah dan Misi, dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia dan Belanda, hlm. 208

[8] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, dialog, Dakwah dan Misi, dalam dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, hlm. 208

[9] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 27. Lihat juga dialog lengkap Rasullah SAW dengan orang-orang Yahudi dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, hadits no. 3169 kitab Al-Jizyatu wa Al-Muwada’atu. Dan hadits No. 6840 Hukum Bagi Ahli Dzimmi dan Perlindungan Mereka apabila Melakukan Perzinahan. Shahih Bukhari, Riyad: Darussalam, 1997, hlm. 646 dan hlm. 1436

[10] Lihat Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah, 2000, Jil. 4, hlm. 109

[11] Muhammad Rais, dialog Antar Agama; Toleransi V Konspirasi, http://dakwatuna/2012/02/18939/ dialog-antar-agama-toleransi-vs-konspirasi/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com