Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

21 Des 2014

Studi Kritik Terhadap Konsepsi Barat Tentang Bagaimana Memahami Agama Orang Lain

Oleh: Lukman

Memahami agama orang lain dalam konsepsi sarjana-sarjana agama Barat dapat kita rujuk kepada beberapa tokoh dalam bidang ini, diantaranya adalah Max Muller. Ia mengingatkan bahwa dalam kegiatan kajian ilmu perbandingan agama tidak ada obyek persembahan yang direndahkan, tidak ada sekte yang diremehkan, tidak ada kitab suci yang diejek, bahkan semua bentuk peribadatan dihormati, dan semuanya akan dihargai secara ilmiah.[1]Makna dari pesan Max Muller ini adalah bahwa setiap peniliti ilmu perbandingan agama dalam penelitiannya tidak boleh merugikan agama yang diteliti, dia harus menghormati dan menyajikan data hasil penelitiannya apa adanya.
Sedangkan Wilfred C. Smith, berpendapat bahwa sikap yang harus ditunjukkan seseorang dalam menghadapi agama orang lain adalah apa yang dinamakan personalization, yang diklaimnya sebagai perbaikan dari sikap-sikap selama ini dalam memandang dan menilai agama lain. Tesis Smith ini diuraikan dalam salah satu bukunya “Comparative Religion: Whither—and Why?”. Personalization melalui beberapa tahap, dimulai dengan menghadirkan impersonal, menganggap obyeknya sebagai benda, sebagai “it”,[2]kemudian menjadi personalization, tidak lagi menganggap obyeknya sebagai benda tetapi sebagai orang. Yang mula-mula dianggap sebagai orang ketiga “they”[3], lalu sebagai orang kedua “you”, sehingga terjadi mendengarkan secara timbal-balik (dialog), maka menjadi kami “we” [4]berbicara dengan engkau “you”, dan puncaknya adalah “we all”[5]are talking with each other about us (kita berbicara bersama tentang kita).[6]
Intinya tidak jauh berbeda dengan Max Muller bahwa dalam studi agama seseorang tidak dibenarkan menganggap agama orang lain lebih rendah dari agamanya, terlebih sampai menyalahkan dan menghina agama tersebut.
Adapun Joachim Wach mengemukakan bahwa sepintas tidak mungkin seseorang memahamai agama yang bukan agamanya sendiri. Padahal hal ini bisa saja terjadi. Bukankah seorang sarjana agama A lebih mungkin memahami agama B dibandingkan dengan seorang yang awam atau bodoh dari pemeluk agama B tersebut. Karenanya keanggotaan resmi suatu agama tidak dapat dijadikan ukuran untuk mencapai pemahaman tentang agama yang diikuti.[7]
Untuk memahami agama secara integral, Wach mensyaratkan beberapa kelengkapan. Pertama, kelengkapan yang bersifat intelektual, karena tidak mungkin memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya informasi dan data yang cukup luas, sehingga penguasaan bahasa merupakan suatu keharusan. Kedua, persyaratan emosional yang tepat. Sebab sebagaimana diketahui agama adalah persoalan pribadi yang melibatkan akal, perasaan dan kehendak. Ketiga, kemauan, ini sangat diperlukan dalam memahami agama orang lain. Keinginan tahu yang pasif atau hasrat tidak mengabaikan perbedaan status seseorang bukan hal yang baik dalam bidang ini. Ketidak tahuan, kemauan yang tak terkendali, dan tidak adanya tujuan akan menghalangi akal sehat, padahal akal menjanjikan keberhasilan pencapaian pemahaman. Keempat, kelengkapan pengalaman, ini merupakan persyaratan utama dalam usaha memahami agama orang lain. Siapa yang sudah mengetahui banyak hal tentang karakter manusia, maka ia lebih memenuhi syarat untuk memahami agama orang lain. Karena ia telah berhubungan dengan pemikiran-pemikiran manusia yang tercermin dalam tingkah laku, perasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda.[8]
Pandangan Wach ini bila dicermati lebih menekankan pada partisipasi, yaitu seseorang yang ingin mengetahui dan memahami agama orang lain meskipun jauh berbeda bahkan bertentangan dengan keyakinannya harus mengambil bagian bahkan ikut serta dalam kebiasaan atau kegiatan agama yang sedang diteliti. Jadi partisipasi ini dalam rangka menghayati agama yang sedang dipelajari.
Selain itu, sarjana-sarjana Barat pada umumnya berpandangan bahwa dalam menghampiri agama lainnya hendaknya dengan sikap penghargaan dan rasa simpatik, dan kekeliruan bagi seseorang bila dalam mempelajari agama lain hanya mencari-cari kesalahan agama tersebut tetapi juga harus secara jujur menyebutkan keutamaan-keutamaan agama yang diteliti tersebut.
Jika simpatik yang dimaksud adalah simpatik yang dipahami Barat (mengakui kebenaran agama-agama tersebut) maka itu tidak bisa diterima dalam Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam. Namun jika penghargaan dan simpatik yang dimaksud adalah toleransi dalam Islam maka itu memang diperintahkan oleh Islam. Islam datang untuk meluruskan penyimpangan- penyimpangan agama lain, sehingga mau tidak mau harus disebutkan dan dijelaskan oleh Islam kekurangan- kekurangan dan penyimpangan agama lain tersebut. Adapun keharusan berlaku jujur mengakui dan menyebutkan kekuatan agama lain, dalam Islam ada konsep amanah dan adil. Bahwa amanah ilmiah dalam penelitian harus ditegakkan. Sedangkan tentang pengakuan terhadap kekuatan-kekuatan dan kebenaran agama tersebut, Islam sudah punya konsep yang jelas dalam memandang agama-agama tersebut. Islam mengakui bahwa semua agama yang dibawa oleh para Nabi adalah satu yaitu tauhid, selain itu adalah penyimpangan terhadap agama tauhid tersebut. Maka sunggu ironis ketika banyak sarjana-sarjana Muslim yang paham betul bahwa Isa bukan Tuhan, tidak disalib dan tidak bisa memberikan pengampunan terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia, karena demikian itulah yang disampaikan oleh wahyu. Namun mereka mengakui bahwa kekuatan agama Kristen adalah berinkarnasinya Tuhan dalam diri yesus, yang dengan darahnya di tiang salib dapat memberikan ampunan kepada manusia yang berdosa.[9]
Adapun pandangan Joachim Wach yang menyebutkan bahwa untuk dapat memahami agama orang lain secara integral diperlukan minimal empat syarat kelengkapan. Yaitu kelengkapan intelektual, pengendalian emosional, kemauan dan kelengkapan pengalaman. Dari empat syarat kelengkapan ini terdapat kekeliruan yang sangat fatal apabila diterapkan kepada agama Islam. Seperti kelengkapan intelektual yang salah satu unsur utamanya adalah penguasaan bahasa agama yang diteliti.
Disini Wach tidak menjadikan penguasaan bahasa Arab dalam memahami Islam sebagai syarat mutlak. Menurutnya orang bisa saja memahami Islam dengan baik tanpa menguasai bahasa Arab karena sekarang ini sudah banyak terjemahan-terjemahan kitab suci.
Pada hal dalam Islam terdapat banyak istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan khusus yang menggambarkan konsep-konsep terpenting agama Islam yang tidak mungkin dapat dipahami secara benar bila hanya mengandalkan terjemahan. Contoh konkrit adalah istilah dîn, yang umumnya diterjemahkan sebagai ‘agama’ atau ‘religion’. Terjemahan ini tentu menimbulkan problem dan kebingungan karena istilah dîn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion. Ia adalah sebuah istilah yang menggabarkan sebuah konsep besar yang sangat fundamental dalam Islam.
Hal lainnya yang juga perlu dikritisi adalah kelengkapan pengendalian emosional. Bahwa untuk membentuk kondisi emosional yang stabil adalah dengan rasa partisipasi, bergaul dengan mereka dalam amalan-amalan mereka sehari-hari untuk dapat menghayati dan merasakan apa yang mereka lakukan. Disini perlu ditegaskan sampai mana tingkat bergaul dan partisipasi yang disyaratkan untuk dapat memahami agama orang lain tersebut. Karena dalam konsepsi Islam, keikut sertaan dalam suatu ibadah agama lain adalah masalah yang prinsip, yang tidak boleh dilanggar oleh sorang Muslim. Seorang Muslim tidak dibenarkan ikut serta dalam suatu ibadah agama lain meski itu untuk tujuan penelitian. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya Surat AlKafirun, ayat 1-6:

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."[10]

Mengadopsi konsep-konsep Barat tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu adalah tindakan yang gegabah, karena bisa jadi konsep-konsep dari luar itu tidak cocok diterapkan untuk Islam atau mungkin konsep-konsep tersebut memang dibuat untuk merusak Islam.
Pada dasarnya Islam telah memiliki konsep yang sangat jelas dalam memandang agama lain. Firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah(2): 62

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”


Islam mengakui adanya pluralitas atau toleransi dalam beragama, mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik.[11]
Jika kita merujuk pada ayat di atas (QS. 2:62), maka akan terlihat dengan jelas kedudukan Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan agama-agama selain Islam. Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa Al-Qur’an memang mengakui eksistensi agama Yahudi, Nasrani dan Shabiin dengan syarat mereka beriman kepada Allah, hari pembalasan dan beramal shalih. Beriman kepada Allah berarti meyakini segala Firman-Nya, Rasul-Nya dan Hari Akhirat, baik mereka itu tergolong ummat terdahulu-yaitu orang-orang yang beriman kepada para nabi dan pada kitabnya tanpa mengubah dan menggantinya.[12]
Yahudi dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh kepada Taurat dan sunnah nabi Musa a.s sampai datangnya Nabi Isa a.s. Demikian pula Nashrani dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh pada Injil dan syari’at nabi Isa a.s, amal mereka diterima hingga datangnya nabi Muhammad saw. Seperti Salman al-Farisi r.a. yang bertanya tentang kaumnya yang masih beragama shabiin, yang melakukan shalat, shaum dan meyakini akan diutusnya nabi terakhir, tetapi belum memeluk Islam. Maka nabi bersabda bawa mereka adalah ahl Nar (penghuni Neraka).
Sehingga siapa saja yang tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. dan syari’at yang dibawahnya maka ia tertolak amal ibadahnya, sebagaimana Firman Allah QS. Ali-Imran(3):85 :

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Ibnu Abbas dalam mengomentari ayat tersebut di atas menyebutkan bahwa: “Tidak diterima agama dan amal salah seorang diantara kalian hingga sesuai dengan syari’at yang dibawah oleh Rasullah saw.”[13]

.........................................................
[1] Jacques Wardenburg (ed), Classical Approaches to the studies of Religion, Vol. I, Paris: Moutton-The Haque ,1973, hlm. 90, dalam Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 11
[2] “It”, bentuk tradisional yang biasa digunakan orang Barat untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). “It” menunjukkan sesuatu yang “impersonal”. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan obyek kajian. Penjelasan pronominal terms yang digunakan Smith ini dikutip dari Makalah Adeng Muchtar Ghazali “Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama”, http://www.uinsgd.ac.id/read/karya_ilmiah/artikel-dosen/pluralisme-dan-titik-temu-agama-agama/ diakses tanggal 1 September 2012.
[3] “They”; agama yang impersonal menjadi “personal”, sesuatu yang “asing” menjadi “dikenal” dan bisa didekati sebagai obyek kajian. Pada tahapan ini, ada “pengakuan” bahwa agama-agama non-Kristen (“they”) merupakan bagian dari komunitas manusia beragama. Ibid
[4] “We”; sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis anatar agama Kristen dan non-Kristen. “We” mencakup “they” dan “you”. “They” menunjukkan bahwa para penstudi memandang agama yuang dikajinya sebagai obyek, dan penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan. Sedangkan “you” menunjukkan adanay dialog yang harmonis, tadinya “we’re speaking (to) you”, – kami berbicara (kepada) Anda, menjadi “we’re speaking (with) you”, – kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak, bahwa yang tadinya “(to) you” sebagai obyek, berubah menjadi “(with) you” sama-sama sebagai subyek. Ibid.
[5] “We all”; merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, sebagai tahapan terkahir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan, menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan bertukar pikiran tentang agamanya. “We all” yang dibicarakan tiada lain adalah “with each other about us” –marilah bersama-sama berbicara tentang kita, yakni agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia. Ibid.
[6] Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religion: Whither—and Why?, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Katigawa (ed), The History of Religion, Chicago and London: University of Chicago Press, 1959, hlm. 34
[7] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 10
[8] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, hlm. 11-13
[9] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima),hlm. 32-35
[10] Ibn Katsir meriwayatkan bahwa kaum kafir Quraiys mengajak Rasulullah SAW untuk menyembah berhala mereka selama satu tahun, setelah itu mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun pula. Kemudian Allah menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan RasulNya untuk berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan. Lihat Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah, 2000, Jil. 4, hlm. 109
[11] Anis Malik Thohah, Pluralisme Agama, Ancaman bagi Agama-Agama, www.hidayatullah.com
[12] Bukti-bukti hasil penelitian pemalsuan Taurat dan Injil sudah banyak dipublikasikan, bahkan dari teolog Kristen sendiri banyak melakukan kritik akan keotentikan teks Bibel. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya “Who Wrote the bible”, menulis, bahwa hingga kini siapa sebenarnya yang menulis kitab ini masih misteri. The Five Book of Moses, kata friedman, merupakan teka teki paling tua di dunia, tidak satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan , bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teksnya dijumpai banyak kontradiksi. Sedangkan Prof. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya berjudul “The Tex of the new Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain “A textual Commentary on the Greek New Testament.”, (terbitan United Bible Societies, Corrected edition, 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini, bermacam-macam, beda satu dengan lainnya. Kajian lebih dalam dapat dibaca dalam buku karya Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi secular-Liberal, Jakarta: GIP, 2005. Dan buku karya Molyady Samuel AM, Dokumen Pemalsuan Al Kitab, Surabaya: Victory Press, 2002.
[13] Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Vol. 1, Cet.3. hlm. 89-90. Penafsiran yang tidak jauh berbeda ditulis oleh Buya Hamka dalam kitab tafsirnya Al-Azhar, bahwa ketika Nabi Muhammad diutus maka orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin harus mengimani Nabi Muhammad saw beserta syari’at yang dibawanya. Lihat Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura, Vol. 1, Cet.7, 2007. hlm. 203-208

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com