Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

22 Des 2014

Respon K.H. Ahmad Dahlan Terhadap Gerakan Kristenisasi

Oleh: Lukman

Tidak bisa dinafikan bahwa umat Islam Indonesia sedang menghadapi serangan aqidah yang luar biasa. Selain serangan sekularisasi, pluralisme dan liberalisasi, bahaya besar lainnya yang senantiasa mengintai umat Islam Indonesia adalah “Kristenisasi”. Sejak ratusan tahun lalu, para misionaris Kristen telah memasuki Indonesia untuk mengabarkan Injil, dan sejak itu pula, berbagai macam upaya dan strategi mereka canangkan untuk menjadikan Indonesia sebagai negri Kristen. Indonesia benar-benar mendapat prioritas utama sebagai lahan empuk injilisasi dunia. Insya Allah dalam paper singkat ini, penulis akan mencoba menguraikan bagaimana sikap dan respon KH. Ahmad Dahlan terhadap gerakan Kristenisasi di Indonesia dimasa beliau hidup. Ini penulis anggap penting sebab bukan saja ingin belajar dari pendahulu kita, tapi juga ingin menegaskan bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat tegas menolak gerakan Kristenisasi di Indonesia.

Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar, Seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh[1],Al-Afghani, Rasyid Ridha[2]dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau kembali ke Mekah dengan membawa serta putranya Muhammad Siraj dan menetap selama 18 bulan. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada beberapa guru spesialis. Dalam ilmu Fiqih berguru kepada Kyai Makhfudz Termas dan lain-lain, Mufti Syafi’i dalam ilmu hadis, K. Asy’ari Baweyan dalam ilmu falak dan Syehk Ali Mishri Mekah dalam ilmu Qira’at.[3]Syehk Ali Mishri Mekah dalam ilmu Qira’at. Dapat dipastikan pula bahwa beliau adalah murid Syeikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari.[4]Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak.[5]Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau wafat di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun, dan dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.[6]

Sejarah Singkat Gerakan Kristenisasi di Indonesia

Berdasarkan kutipan Alwi Shihab dari buku Church History in Indonesia, Muller Kruger menyatakan bahwa, menurut sumber-sumber Arab kuno, pada pertengahan abad ketujuh sebuah komunitas Kristen hidup di Sibolga, Sumatra dan membangun gereja. Namun demikian pada periode awal ini agama Kristen belum mengalami perkembangan yang signifikan[7]Hasil gerakan kristenisasi mulai nampak sejak kaum penjajah portugis datang ke Nusantara tepatnya di Maluku pada tahun 1512. Yang kemudian diikuti oleh kedatangan Spanyol dari arah barat, meluaskan jaringan perdagangan dan penyebaran agama Kristen ke daerah-daerah sekitarnya, bahkan hingga ke Jawa.[8]Pada dasarnya tujuan utama dari penjajah tersebut adalah mengeruk keuntungan ekonomi, tetapi untuk memuluskan tujuan tersebut, mereka juga menggunakan agama Kristen sebagai alat imprealisme, yang kebetulan juga mempunya misi menyebarkan agamanya dan dendam perang salib kepada umat Islam. Akhirnya, terjalinlah kerjasama dengan slogan “Gold, Glory, and Gospel” (Emas, Kejayaan, dan Injil).
Bahkan Dr. Jan S. Aritonang[9]dalam seminar “Kristenisasi dan Islamisasi” di Jakarta, 24 Juli 1999, mengungkapkan, bahwa Spanyol dan Portugis, ketika hendak menjajah dunia, mendapat restu dan mandat dari Paus Alexander VI tahun 1493 (dipertegas dalam perjanjian Tordesilas, 1494),[10]yang pada pkokonya mengamanatkan agar para penjelajah dan pedagang dari dua negri beragama Kristen katolik itu menyiarkan iman katolik.[11]Berbeda dengan Portugis dan Spanyol, Negara dan masyarakat Belanda belum pernah berjumpa secara fisik dengan umat dan penguasa Islam sebelum mereka datang ke Asia. Meski demikian di samping mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari gereja Protestan yang berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561.[12]Untuk menaklukkan dan mempertahankan kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda ketika itu -- atas nasehat Snouck Hurgronje -- membagi Islam kedalam tiga kategori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Resep Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai “Islam politiek” atau kebijakan pemerintah kolonial untuk menangani masalah Islam di Indonesia. Dari ketiga pembagian tersebut, pemerintah memberi keleluassan kepada umat Islam kecuali dalam bidang politik, semua usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Oan-Islam akan di cegah.[13]
Sementara dalam catatan Deliar Noer, mengungkapkan bahwa, sebagai orang-orang yang ingin terus berkuasa di kepulauan ini, maka bagi Belanda masalah yang pokok adalah bagaimana menimbulkan persaan senang penduduk Indonesia terhadap pemerintahan Belanda. Dalam hal ini terdapat dua pandangan : Pertama, unsur budaya, bagaimana mengembangkan kebudayaan Barat sehingga orang Indonesia menerima kebudayaan ini sebagai kebudayaan mereka walaupun tanpa mengesampingkan kebudayaan sendiri. Hal ini disebut “assosiasi” yang bermaksud untuk mengikat jajahan lebih erat padah penjajah dengan menyediakan bagi penduduk jajahan itu manfaat-manfaat yang terkandung dalam kebudayaan pihak penjajah dengan menghormati sepenuhnya kebudayaan lokal. Pandangan kedua, adalah “kristenisasi” bagaimana mengubah agama penduduk, yang Islam maupun yang bukan, menjadi Kristen. Menurut missi (Kristen sendiri ini akan lebih mudah ilakukan bila pandangan pertama terpenuhi, yang tentunya akan sangat menguntungkan pemerintah Belanda, sebab penduduk pribumi mengenal eratnya hubungan agama dengan pemerintahan. Setelah masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir batin bagi kompeni.[14]
Meskipun fakta-fakta sejarah seperti diatas sangat jelas, tokoh-tokoh Kristen Indonesia – seperti Dr. W.B. Sidjabat dan TB Simatupang – biasanya berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurut mereka, kaum misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum kolonialis. Penyebaran agama Kristen, lebih disebabkan oleh kuasa Alkitab dan bukan terutama disebabkan oleh orang-orang Kristen.[15]
Setelah Indonesia Merdeka, Indonesia menjadi sasaran misi Kristen dari segenap penjuru dunia. Beragam media digunakan seperti film, kaset, buku-buku, kapal-kapal penginjil yang mengitari pantai-pantai dan kepulauan seperti Lombok, Sumbawa, Sulawesi dan Kalimantan. Di daerah luar Jawa seperti NTT dan Kalimantan misi Kristen telah memiliki pemancar radio dan pesawat terbang cesna. Bahkan pada wilayah-wilayah tertentu, mereka mendirikan landasan pesawat khusus dengan izin dari Depertemen Perhubungan.[16]Dalam bidang pemerintahan, politik, mereka senantiasa melakukan maneuver-manuver, mulai dari penolakan Piagam Jakarta, perjuangan di konstituante untuk menolak Islam sebagai dasar negara, gugatan terhadap SKB dua mentri mengenai penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat, hingga penolakan UU Sisdiknas tahun 2003 yang mengharuskan sekolah menyediakan guru agama bagi siswa sesuai agamanya.

Respon KH. Ahmad Dahlan Terhadap Kristenisasi

Salah satu teori yang berkembang tentang faktor-faktor lahirnya Muhammadiyah adalah perkembangan kegiatan misi Kristen di Jawa. Penetrasi Kristen ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa.[17]kegiatan kristenisasi yang lebih dalam lagi terjadi pada tahun 1850-an ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya kesadaran kaum muslimin untuk melawan kegiatan-kegiatan misi ini.
Pada tahun-tahun pertama abad ke-20, masa awal “Politik Etis”[18]sekolah-sekolah misi Kristen mulai ikut serta dalam program pendidikan pemerintah. Bagi kaum muslimin, ini adalah ancaman besar dari hasrat pemerintah kolonial untuk mengkristenkan masyarakat Jawa.
Startegi ulama dalam menjawab tantangan tersebut adalah dengan membina kesadaran jiwa massa pendukungnya dan terumuskan dalam bahasa Jawa sederahana: mangan ora mangan asal kumpul. Artinya, makan atau tidak makan hendaknya tetap berjama’ah dengan ulama. Jangan sampai menyebrang berpihak kepada penjajah. Dengan kata lain, jangan sampai kelaparan dijadikan alasan untuk beralih agama dan mendukung penjajah. Ulama Sunda pun mengajarkan dengan bahasa: bongkok ngoroyok, bengkung ngariung. Walaupun secara pisik berkondisi sangat parah, jiwa tetap wajib istiqamah dan selalu berjama’ah, jangan sampai menjauh dari kepemimpinan ulama. [19]
Memasuki tahun 1912 M, Surakarta dan Yogyakarta dijadikan target pemerintah colonial Belanda untuk dipatahkan kekuatan Islamnya dan dijadikan medan kritenisasi. Alasannya, Surakarta dan Yogtyakarta telah dikelilingi pusat-pusat pendidikan kristenisasi dari Ungaran, Salatiga, boyolali, dan kebumen, serta Magelang sebagai pusat pendidikan serdadu Belanda.
Menghadapi tantangan demikian, K.H. Ahmad Dahlan dengan organisasinya giat melakukan tabligh, merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya.[20]K.H. Ahmad Dahlan berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan misi Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen. Hal itu menyebabkan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dibenci sebagian kalangan karena dianggap mendukung rezim colonial atau sekurang-kurangnya tidak menentangnya.[21]
Dengan dasar pertimbangan tersebut K.H. Ahmad Dahlan berhasil menjalin kontak dan persahabatan yang erat dengan banyak pendeta Kristen. Ketika mengundang orang-orang Kristen ke forum yang diselenggarakannya atau menerima undangan mereka, baik untuk mengadakan pembicaraan pribadi maupun mengikuti diskusi terbuka. Ini dilakukan Ahmad Dahlan bukan karena mentolerir misi kristenisasi yang mereka lakukan, namun lebih pada metode dalam menghadapi dan merespon misi penginjilan tersebut. Disebutkan beberapa kisah bagaimana Dahlan menda’wahkan Islam melalui metode debat. Ia penah menantang misionaris Kristen bernama Domine Baker dari Belanda, Dr. Zwemer, seorang misionaris Amerika yang ditunjuk menyebarkan Injil di kalangan bangsa Asia, termasuk Indonesia, demikian juga dengan misionaris lainnya Dr. Laberton. Dimana Ahmad Dahlan mampu mengungguli mereka dalam debat-debat yang dilakukan.[22]
Muhammadiyah dibawah kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan juga aktif menentang politik Kristenisasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti "Surat Edaran Mingguan" dan "Surat Edaran Pasar" yang melarang segala kegiatan resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah, klinik, dan panti asuhan.[23]
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.[24]
Bagi Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi Kristen. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik kesehatan.[25]
Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa, pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.[26]
Pasca kepemimpinan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah semakin agresip dan keras menentang kristenisasi, terutama dibawah kepemimpinan Fachruddin (1923-1929). Pada masa ini merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen, yang dianggap tidak bersahabat dengan islam. Muhammadiyah semakin bersikap tegas dan militan dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.[27]

Penutup

Berdasarkan pembahasan dan penelaahan dalam paper ini, bisa disimpulkan bahwa kehadiran misi Kristen dan penetrasi mereka di negri ini, menjadi salah satu faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan K.H. Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu, yang kemudian memprakarsai lahirnya Muhammadiyah sebagai respon terhadap misi Kristen tersebut.
K.H. Ahmad Dahlam dalam merespon gerakan kristenisasi di negri ini menggunakan pendekatan yang lunak dan moderat, dalam arti ia berusaha menghindari konfrontasi langsung dalam membendung gerakan mereka. Dan lebih mengutamakan untuk membekali dan membentengi kaum muslimin dari pemurtadan. Meski Ahmad Dahlan bersikap moderat dalam menghadapi Kristenisasi, bukan berarti beliau menyetujui atau tidak menentang gerakan tersebut, karena pada kenyataannya K.H. Ahmad Dahlan dalam membendung gerakan kristenisasi tersebut adalah melalui pembekalan dan membentangi kaum muslimin dari penetrasi Kristen yang dilakukan oleh para misionaris-misionaris yang memang ditugas di negri ini untuk memurtadkan kaum muslimin itu. Bahkan K.H. Ahmad Dahlan sering menantang debat para misionaris tersebut untuk menunjukan kebenaran Islam dan kekeliruan mereka. Kita juga dapat melihat generasi Muhammadiyah pasca Ahmad Dahlan yang begitu keras dalam menentang gerakan Kristenisasi tersebut.
Demikianlah respons K.H. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya terhadap Kristenisasi pada masa politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi tetap menjadi salah satu tantangan da’wah terbesar bagi umat Islam di negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi mereka.



...............................................
[1] Interaksi Ahmad Dahlan denga pemikiran Muhammad Abduh dimulai dengan interaksi beliau dengan buku-buku karangan Muhammad Abnuh diantaranya : Kitab Tauhid, Tafsir juz Amma, Kitab Al Islam wan Nasroniyah, Tafsir al Manar, Kitab Syubhatunnashara wal Hudjdjatul Islam. Lihat Solichin Salam, Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia, Jakarta: Mega Djakarta, 1965. Hlm. 43-44

[2] Isi Selama di Mekah KH. Ahmad Dahlan berkesempatan bertukar pikiran dengan Rasyid Ridha yang diperkenalkan KH Bakir, ide pembaruan meresap di hatinya yang mendorongnya melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di Indonesia kemudian. Lihat A.Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Kedua Puluh, Surabaya: Bina ilmu, 1981. Hlm. 27

[3] Isi Kyai Syuja’, Islam Berkemajuan Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, Ciputat: Al Wasath, 2009. Hlm. 53

[4] Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Jakarat: Mizan, 1998. Hlm. 109

[5] yaitu Djohanah (istri pertama Haji Hilal), Siradj Dahlan (Menjadi Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, wafat 1948), Siti Busyro (Istri H. Isom Dja’far), Siti Aisyah (Istri Kedua H. Hilal, yang kemudian dikenal dengan Aisyah Hilal), Siti Zaharah (Istri H. Masykur Banjarmasin), Irfan DahlanA. Lihat Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Kedua Puluh, hlm. 25. Yang juga mengutip bahwa Irfan Dahlan ini kemudian bergabung dalam gerakan Ahmadiyah Kadian (Lihat AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonnesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Hlm. 95)

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan#cite_note-2/Diakses Tanggal 1 Juni 2010

[7] Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, hlm. 31. Adapun paparan mendetail mengenai kedatangan awal agama Kristen di Indonesia, dapat dilihat dalam buku Theodor Muller Kruger, Sedjarah Gereja di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbitan Kristen , 1959.

[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta : gunung Mulia, 2006. Hlm. 13-14

[9] Dr. Jan S. Aritonang adalah pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) sejak tahun 1977 dan dosen Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta.

[10] Perjanjian Tordesilas adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh Kerajaan Katolik Portugis dan kerajaan katolik Spanyol. Dipinpin oleh Paus Alexander VI, 1492-1503. Dalam perjanjian ini Paus memberikan kewenangan kepada Portugis untuk mengusai dunia belahan timur. Sebaliknya kepada Spanyol diberikan kewenangan untuk menguasai dunia belahan barat. Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2009. Hlm. 157

[11] Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, Jakarta: Pustaka Da’i, 2003. Hlm. 119

[12] VOC ( Kongsi Dagang Hindia Timur), dibentuk atas usul parlemen Belanda tahun 1598, VOC dalam melakukan kegiatannya di Indonesia didasarkan pada laporan Frederick de Houtman yang telah melakukan penjajakan ke Nusantara sebanyak dua kali pada tahun 1596 dan 1599. Lihat S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hlm. 46-51

[13] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. hlm. 197-198

[14] Delier Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet.8, 1996. hal. 26-27

[15] Adian Husaini, Majalah Media Dakwah, Edisi No. 375, Muharram 1428/Februari 2007. Hlm.8

[16] http://www.almanar.co.id/artikel-asatidzah/misi-kristen-di-indonesia.html/ diakses tgl 15 Juni 2010

[17] Kekuasaan Sultan terlalu lemah untuk menentang kehendak pemerintah kolonial itu. Kesepakatan awal antara pemerintah kolonial dan sultan untuk mengizinkan beroperasinya misi-misi Kristen tidak lebih dari setahun, tetapi secara sewenang-wenang dilanggar oleh pemerintah Belanda. Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, hlm. 248

[18] Ketika “politik Etis” (dengan triloginya : Educatie (edukasi), Irigatie (Irigasi), dan Emigratie (emigrasi)).pertama kali diterapkan, pemerintah belanda didominasi oleh orang-orang Kristen yang sadar-diri, yang mendukung kristenisasi di Indonesia. Ibid. hlm. 248.

[19] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 308

[20] Afif Azhari dan Mimien Maimunah, Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia, Surabaya: Al-Ikhlas, 1999, hlm. 101.

[21] Boeah Congres Muhammadijah Seperampat Abad, Yogyakarta: Hoofdcomte, Congres Muhammadiyah, 1936, hlm. 33, dalam Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, hlm. 160

[22] Ibid, hlm. 161.

[23] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, hlm. 60

[24] G.F. Pijper, Fragmenta Islamica; Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, Jakarta: UI Press, 1987, hlm. 21-22.

[25] http://masyumicentre.com/mc/index.php/beranda/pembaca-menulis/234-respons-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/ diakses tanggal 27 September 2012

[26] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 91-92

[27] Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, hlm. 162
Baca Selengkapnya »

21 Des 2014

Studi Kritik Terhadap Konsepsi Barat Tentang Bagaimana Memahami Agama Orang Lain

Oleh: Lukman

Memahami agama orang lain dalam konsepsi sarjana-sarjana agama Barat dapat kita rujuk kepada beberapa tokoh dalam bidang ini, diantaranya adalah Max Muller. Ia mengingatkan bahwa dalam kegiatan kajian ilmu perbandingan agama tidak ada obyek persembahan yang direndahkan, tidak ada sekte yang diremehkan, tidak ada kitab suci yang diejek, bahkan semua bentuk peribadatan dihormati, dan semuanya akan dihargai secara ilmiah.[1]Makna dari pesan Max Muller ini adalah bahwa setiap peniliti ilmu perbandingan agama dalam penelitiannya tidak boleh merugikan agama yang diteliti, dia harus menghormati dan menyajikan data hasil penelitiannya apa adanya.
Sedangkan Wilfred C. Smith, berpendapat bahwa sikap yang harus ditunjukkan seseorang dalam menghadapi agama orang lain adalah apa yang dinamakan personalization, yang diklaimnya sebagai perbaikan dari sikap-sikap selama ini dalam memandang dan menilai agama lain. Tesis Smith ini diuraikan dalam salah satu bukunya “Comparative Religion: Whither—and Why?”. Personalization melalui beberapa tahap, dimulai dengan menghadirkan impersonal, menganggap obyeknya sebagai benda, sebagai “it”,[2]kemudian menjadi personalization, tidak lagi menganggap obyeknya sebagai benda tetapi sebagai orang. Yang mula-mula dianggap sebagai orang ketiga “they”[3], lalu sebagai orang kedua “you”, sehingga terjadi mendengarkan secara timbal-balik (dialog), maka menjadi kami “we” [4]berbicara dengan engkau “you”, dan puncaknya adalah “we all”[5]are talking with each other about us (kita berbicara bersama tentang kita).[6]
Intinya tidak jauh berbeda dengan Max Muller bahwa dalam studi agama seseorang tidak dibenarkan menganggap agama orang lain lebih rendah dari agamanya, terlebih sampai menyalahkan dan menghina agama tersebut.
Adapun Joachim Wach mengemukakan bahwa sepintas tidak mungkin seseorang memahamai agama yang bukan agamanya sendiri. Padahal hal ini bisa saja terjadi. Bukankah seorang sarjana agama A lebih mungkin memahami agama B dibandingkan dengan seorang yang awam atau bodoh dari pemeluk agama B tersebut. Karenanya keanggotaan resmi suatu agama tidak dapat dijadikan ukuran untuk mencapai pemahaman tentang agama yang diikuti.[7]
Untuk memahami agama secara integral, Wach mensyaratkan beberapa kelengkapan. Pertama, kelengkapan yang bersifat intelektual, karena tidak mungkin memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya informasi dan data yang cukup luas, sehingga penguasaan bahasa merupakan suatu keharusan. Kedua, persyaratan emosional yang tepat. Sebab sebagaimana diketahui agama adalah persoalan pribadi yang melibatkan akal, perasaan dan kehendak. Ketiga, kemauan, ini sangat diperlukan dalam memahami agama orang lain. Keinginan tahu yang pasif atau hasrat tidak mengabaikan perbedaan status seseorang bukan hal yang baik dalam bidang ini. Ketidak tahuan, kemauan yang tak terkendali, dan tidak adanya tujuan akan menghalangi akal sehat, padahal akal menjanjikan keberhasilan pencapaian pemahaman. Keempat, kelengkapan pengalaman, ini merupakan persyaratan utama dalam usaha memahami agama orang lain. Siapa yang sudah mengetahui banyak hal tentang karakter manusia, maka ia lebih memenuhi syarat untuk memahami agama orang lain. Karena ia telah berhubungan dengan pemikiran-pemikiran manusia yang tercermin dalam tingkah laku, perasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda.[8]
Pandangan Wach ini bila dicermati lebih menekankan pada partisipasi, yaitu seseorang yang ingin mengetahui dan memahami agama orang lain meskipun jauh berbeda bahkan bertentangan dengan keyakinannya harus mengambil bagian bahkan ikut serta dalam kebiasaan atau kegiatan agama yang sedang diteliti. Jadi partisipasi ini dalam rangka menghayati agama yang sedang dipelajari.
Selain itu, sarjana-sarjana Barat pada umumnya berpandangan bahwa dalam menghampiri agama lainnya hendaknya dengan sikap penghargaan dan rasa simpatik, dan kekeliruan bagi seseorang bila dalam mempelajari agama lain hanya mencari-cari kesalahan agama tersebut tetapi juga harus secara jujur menyebutkan keutamaan-keutamaan agama yang diteliti tersebut.
Jika simpatik yang dimaksud adalah simpatik yang dipahami Barat (mengakui kebenaran agama-agama tersebut) maka itu tidak bisa diterima dalam Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam. Namun jika penghargaan dan simpatik yang dimaksud adalah toleransi dalam Islam maka itu memang diperintahkan oleh Islam. Islam datang untuk meluruskan penyimpangan- penyimpangan agama lain, sehingga mau tidak mau harus disebutkan dan dijelaskan oleh Islam kekurangan- kekurangan dan penyimpangan agama lain tersebut. Adapun keharusan berlaku jujur mengakui dan menyebutkan kekuatan agama lain, dalam Islam ada konsep amanah dan adil. Bahwa amanah ilmiah dalam penelitian harus ditegakkan. Sedangkan tentang pengakuan terhadap kekuatan-kekuatan dan kebenaran agama tersebut, Islam sudah punya konsep yang jelas dalam memandang agama-agama tersebut. Islam mengakui bahwa semua agama yang dibawa oleh para Nabi adalah satu yaitu tauhid, selain itu adalah penyimpangan terhadap agama tauhid tersebut. Maka sunggu ironis ketika banyak sarjana-sarjana Muslim yang paham betul bahwa Isa bukan Tuhan, tidak disalib dan tidak bisa memberikan pengampunan terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia, karena demikian itulah yang disampaikan oleh wahyu. Namun mereka mengakui bahwa kekuatan agama Kristen adalah berinkarnasinya Tuhan dalam diri yesus, yang dengan darahnya di tiang salib dapat memberikan ampunan kepada manusia yang berdosa.[9]
Adapun pandangan Joachim Wach yang menyebutkan bahwa untuk dapat memahami agama orang lain secara integral diperlukan minimal empat syarat kelengkapan. Yaitu kelengkapan intelektual, pengendalian emosional, kemauan dan kelengkapan pengalaman. Dari empat syarat kelengkapan ini terdapat kekeliruan yang sangat fatal apabila diterapkan kepada agama Islam. Seperti kelengkapan intelektual yang salah satu unsur utamanya adalah penguasaan bahasa agama yang diteliti.
Disini Wach tidak menjadikan penguasaan bahasa Arab dalam memahami Islam sebagai syarat mutlak. Menurutnya orang bisa saja memahami Islam dengan baik tanpa menguasai bahasa Arab karena sekarang ini sudah banyak terjemahan-terjemahan kitab suci.
Pada hal dalam Islam terdapat banyak istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan khusus yang menggambarkan konsep-konsep terpenting agama Islam yang tidak mungkin dapat dipahami secara benar bila hanya mengandalkan terjemahan. Contoh konkrit adalah istilah dîn, yang umumnya diterjemahkan sebagai ‘agama’ atau ‘religion’. Terjemahan ini tentu menimbulkan problem dan kebingungan karena istilah dîn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion. Ia adalah sebuah istilah yang menggabarkan sebuah konsep besar yang sangat fundamental dalam Islam.
Hal lainnya yang juga perlu dikritisi adalah kelengkapan pengendalian emosional. Bahwa untuk membentuk kondisi emosional yang stabil adalah dengan rasa partisipasi, bergaul dengan mereka dalam amalan-amalan mereka sehari-hari untuk dapat menghayati dan merasakan apa yang mereka lakukan. Disini perlu ditegaskan sampai mana tingkat bergaul dan partisipasi yang disyaratkan untuk dapat memahami agama orang lain tersebut. Karena dalam konsepsi Islam, keikut sertaan dalam suatu ibadah agama lain adalah masalah yang prinsip, yang tidak boleh dilanggar oleh sorang Muslim. Seorang Muslim tidak dibenarkan ikut serta dalam suatu ibadah agama lain meski itu untuk tujuan penelitian. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya Surat AlKafirun, ayat 1-6:

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."[10]

Mengadopsi konsep-konsep Barat tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu adalah tindakan yang gegabah, karena bisa jadi konsep-konsep dari luar itu tidak cocok diterapkan untuk Islam atau mungkin konsep-konsep tersebut memang dibuat untuk merusak Islam.
Pada dasarnya Islam telah memiliki konsep yang sangat jelas dalam memandang agama lain. Firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah(2): 62

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”


Islam mengakui adanya pluralitas atau toleransi dalam beragama, mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik.[11]
Jika kita merujuk pada ayat di atas (QS. 2:62), maka akan terlihat dengan jelas kedudukan Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan agama-agama selain Islam. Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa Al-Qur’an memang mengakui eksistensi agama Yahudi, Nasrani dan Shabiin dengan syarat mereka beriman kepada Allah, hari pembalasan dan beramal shalih. Beriman kepada Allah berarti meyakini segala Firman-Nya, Rasul-Nya dan Hari Akhirat, baik mereka itu tergolong ummat terdahulu-yaitu orang-orang yang beriman kepada para nabi dan pada kitabnya tanpa mengubah dan menggantinya.[12]
Yahudi dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh kepada Taurat dan sunnah nabi Musa a.s sampai datangnya Nabi Isa a.s. Demikian pula Nashrani dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh pada Injil dan syari’at nabi Isa a.s, amal mereka diterima hingga datangnya nabi Muhammad saw. Seperti Salman al-Farisi r.a. yang bertanya tentang kaumnya yang masih beragama shabiin, yang melakukan shalat, shaum dan meyakini akan diutusnya nabi terakhir, tetapi belum memeluk Islam. Maka nabi bersabda bawa mereka adalah ahl Nar (penghuni Neraka).
Sehingga siapa saja yang tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. dan syari’at yang dibawahnya maka ia tertolak amal ibadahnya, sebagaimana Firman Allah QS. Ali-Imran(3):85 :

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Ibnu Abbas dalam mengomentari ayat tersebut di atas menyebutkan bahwa: “Tidak diterima agama dan amal salah seorang diantara kalian hingga sesuai dengan syari’at yang dibawah oleh Rasullah saw.”[13]

.........................................................
[1] Jacques Wardenburg (ed), Classical Approaches to the studies of Religion, Vol. I, Paris: Moutton-The Haque ,1973, hlm. 90, dalam Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 11
[2] “It”, bentuk tradisional yang biasa digunakan orang Barat untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). “It” menunjukkan sesuatu yang “impersonal”. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan obyek kajian. Penjelasan pronominal terms yang digunakan Smith ini dikutip dari Makalah Adeng Muchtar Ghazali “Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama”, http://www.uinsgd.ac.id/read/karya_ilmiah/artikel-dosen/pluralisme-dan-titik-temu-agama-agama/ diakses tanggal 1 September 2012.
[3] “They”; agama yang impersonal menjadi “personal”, sesuatu yang “asing” menjadi “dikenal” dan bisa didekati sebagai obyek kajian. Pada tahapan ini, ada “pengakuan” bahwa agama-agama non-Kristen (“they”) merupakan bagian dari komunitas manusia beragama. Ibid
[4] “We”; sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis anatar agama Kristen dan non-Kristen. “We” mencakup “they” dan “you”. “They” menunjukkan bahwa para penstudi memandang agama yuang dikajinya sebagai obyek, dan penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan. Sedangkan “you” menunjukkan adanay dialog yang harmonis, tadinya “we’re speaking (to) you”, – kami berbicara (kepada) Anda, menjadi “we’re speaking (with) you”, – kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak, bahwa yang tadinya “(to) you” sebagai obyek, berubah menjadi “(with) you” sama-sama sebagai subyek. Ibid.
[5] “We all”; merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, sebagai tahapan terkahir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan, menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan bertukar pikiran tentang agamanya. “We all” yang dibicarakan tiada lain adalah “with each other about us” –marilah bersama-sama berbicara tentang kita, yakni agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia. Ibid.
[6] Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religion: Whither—and Why?, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Katigawa (ed), The History of Religion, Chicago and London: University of Chicago Press, 1959, hlm. 34
[7] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 10
[8] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, hlm. 11-13
[9] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima),hlm. 32-35
[10] Ibn Katsir meriwayatkan bahwa kaum kafir Quraiys mengajak Rasulullah SAW untuk menyembah berhala mereka selama satu tahun, setelah itu mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun pula. Kemudian Allah menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan RasulNya untuk berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan. Lihat Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah, 2000, Jil. 4, hlm. 109
[11] Anis Malik Thohah, Pluralisme Agama, Ancaman bagi Agama-Agama, www.hidayatullah.com
[12] Bukti-bukti hasil penelitian pemalsuan Taurat dan Injil sudah banyak dipublikasikan, bahkan dari teolog Kristen sendiri banyak melakukan kritik akan keotentikan teks Bibel. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya “Who Wrote the bible”, menulis, bahwa hingga kini siapa sebenarnya yang menulis kitab ini masih misteri. The Five Book of Moses, kata friedman, merupakan teka teki paling tua di dunia, tidak satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan , bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teksnya dijumpai banyak kontradiksi. Sedangkan Prof. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya berjudul “The Tex of the new Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain “A textual Commentary on the Greek New Testament.”, (terbitan United Bible Societies, Corrected edition, 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini, bermacam-macam, beda satu dengan lainnya. Kajian lebih dalam dapat dibaca dalam buku karya Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi secular-Liberal, Jakarta: GIP, 2005. Dan buku karya Molyady Samuel AM, Dokumen Pemalsuan Al Kitab, Surabaya: Victory Press, 2002.
[13] Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Vol. 1, Cet.3. hlm. 89-90. Penafsiran yang tidak jauh berbeda ditulis oleh Buya Hamka dalam kitab tafsirnya Al-Azhar, bahwa ketika Nabi Muhammad diutus maka orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin harus mengimani Nabi Muhammad saw beserta syari’at yang dibawanya. Lihat Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura, Vol. 1, Cet.7, 2007. hlm. 203-208
Baca Selengkapnya »

28 Okt 2014

Memaknai Toleransi Dalam Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama

Oleh: Lukman

Muqaddimah
Dalam sejarah perjalanan hubungan antar ummat beragama di Indonesia, telah banyak diwarnai berbagai konflik, khususnya antar Islam dan Kristen. Sebut saja penyerangan dan pembakaran Yayasan Doulos Cipayung Jakarta Timur, pada 16 Desember 1999, peristiwa Ambon tahun 1999 dan yang paling hangat adalah peristiwa gereja Yasmin di Bogor. Yang mana ketika kita memperhatikan pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa tersebut, hampir semuanya menyudutkan Islam, ketidak tolerannya ummat Islam terhadap ummat lain dan lain sebagainya. Oleh karena itu segala upaya dilakukan untuk mewujudkan kerukanan antar ummat beragama di Indonesia, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga agama yang ada.
Adalah Prof Dr. Abdul Mukti Ali yang ketika itu menjabat Mentri Agama (1971-1978) sangat konsen dalam mewujudkan kerukunan ummat beragama di Indonesia. Setidaknya Mukti Ali mengajukan dua gagasan atau konsep yang sekaligus sebagai inplementasi dari pemahaman beliau terhadap tujuan ilmu perbandingan agama yang menjadi keahliannya.

a. Agree in Disagreemen
Konsep agree in disagreemen (setuju dalam perbedaan) adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, demikian yang diungkapkan Abdul Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima. Lebih lanjut Mukti Ali menuliskan bahwa hal ini sangat mungkin dapat dipraktekkan secara nyata karena meskipun kita telah mempunyai keyakinan yang kokoh tentang benarnya agama yang kita peluk, kita tetap bisa menghargai pengalaman-pengalaman keagamaan lain. Dan diantara agama yang satu dengan agama yang lain, selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Dengan pengertian inilah akan timbul saling harga menghargai antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. [1]

Sepintas gagasan Mukti Ali ini sangat menjanjikan kerukunan antar umat beragama, namun jika kita telaah lebih dalam dan seksama, sesungguhnya masih terdapat ha-hal yang masih samar, yang mana jika tidak diperjelas dan diurai secara utuh akan berakibat fatal. Berkut ini penulis akan mencoba mengurai hal-hal yang masih samar dari konsep agree in disagreemen Mukti Ali tersebut.
Konsep agree in disagreemen yang digagas oleh Mukti Ali ini, tidak dijelaskan secara rinci dari segi prinsip-prinsip dan penerapannya, sehingga siapapun yang menggunakannya dapat memaknainya sesuai pemahamannya. Hal ini tentu sangat menentukan arah dan hakekat dari konsep ini. Sehingga untuk menggunakannya pun pada Islam perlu ada pemaknaan ulang yang sesuai prinsip-prinsip konsep toleransi dalam Islam. Umat Islam tidak boleh berhenti pada ‘sependapat dalam perbedaan’ tetapi harus dilanjutkan dengan kewajiban da’wah.
Islam memiliki kewajiban da’wah, namun kewajiban da’wah itu tidak memaksa, da’wah Islam disampaikan dengan hikmah, mau’idzati al-hasanah dan mujadalah dengan cara yang baik. [2] Prinsip-prinsip da’wah Islam inilah yang menjiwai konsep toleransi dalam Islam. Bahwa toleransi Islam adalah menegakkan argumentasi, hujjah yang kuat tentang kebenaran namun jika tetap ditolak, tidak dipaksakan, barulah setelah itu kita dapat mengatakan apa yang termaktub dalam surat al-Kafirun ayat 6:

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Dan juga dalam surat al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”
Jadi prinsip utama toleransi dalam Islam adalah tidak memaksakan agama, bukan menerima kebenaran agama lain, yang dalam bahasa Hamid Fahmy Zarkasyi “toleransi tanpa pluralisme”. [3] Ajaran toleransi Islam ini bukan hanya terdapat dalam teks, tetapi telah dibuktikan dengan penerapannya dalam kehidupan da’wah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di Jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi SAW, karena konsep tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Di Madinah Rasulullah SAW telah berhasil membangun toleransi beragama melalui piagam Madinah, yang ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu Negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sangat jelas mengatur hubungan antara umat agama tersebut. Misalnya:
  • Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.”
  • Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.”
  • Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya. [4]

Pada periode Umar bin Khattab pun demikian, dalam sejarahnya Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika di bawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai. [5] Bahkan menurut Ahmad Syalaby, Salah satu faktor penyebab lahirnya ilmu perbandingan agama adalah karena konsep toleransi yang ada dalam ajaran Islam. Dimana konsep toleransi tersebut mengharuskan kaum muslimin memahami dengan baik agama-agama lain. [6]

Sehingga sangat disayangkan jika seorang Muslim mencari konsep lain untuk menyelesaikan problem yang dihadapinya, sedangkan Islam sudah memberikan solusi penyelesainnya. Problem kerukunan antar umat beragama bukanlah barang baru dalam Islam. Sejak lahirnya, Islam telah berhadapan dengan masalah hubungan dengan pemeluk agama lain. Konsep penyelesaian masalah tersebut pun sudah ada bahkan telah dipraktekkan secara gambalang oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dimasa awal-awal pertumbuhan Islam.
Upaya untuk mengkritisi ataupun memunculkan metode-motode baru dalam penyelesaian masalah kerukunan umat beragama tidaklah salah, akan tetapi kecenrungan untuk menghilangkan prinsip-prinsip dasar yang sudah digariskan oleh Islam adalah sesuatu yang sangat berisiko dan berakibat fatal. Karena sebenarnya konsep toleransi Islam ini masih sangat relevan untuk menjawab tantangan kerukunan umat beragama dewasa ini. Hanya saja umat Islam belum memahami konsep-konsep dalam Islam sendiri secara baik. Sehingga yang dibutuhkan adalah bagaiman kaum Muslimin lebih serius lagi dalam menggali kembali konsep-konsep penting tersebut dan mengembangkannya dalam konteks situasi masa sekarang, tanpa mendekonstruksi prinsip-prinsip ajaran Islam.

b. Dialog Anatar Umat Beragama
Dalam pandangan Mukti Ali, keberadaan materi ilmu perbandingan agama di Indonesia telah banyak membantu memudahkan pelaksanaan dialog antar umat beragama dinegri ini. Oleh karena itu Mukti Ali (sejak tahu 1969) mencoba menggagas konsep kerukunan umat beragama melalui dialog. [7] Menurutnya dialog bukan hanya saling memberi informasi, mana yang sama dan mana yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya. Dialog antaragama juga bukan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan kepercayaannya, dan menjadikan orang lain mengubah agamanya kepada agama yang ia peluk. Juga tidak dimaksudkan untuk konversi, mengasung orang lain agar menerima kepercayaan yang ia yakini.
Lebih lanjut, Mukti Ali menyatakan bahwa dialog juga bukanlah berdebat adu argumentasi antara berbagai kelompok pemeluk agama, hingga ada yang menang dan ada yang kalah. Akan tetapi dialog antaragama adalah pertemuan hati antarpemeluk berbagai agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerja sama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. [8]
Dialog yang dimaksud Mukti Ali seperti yang disebutkan di atas, bila ditelisik lebih seksama, sesungguhnya mengandung kerancuan-kerancuan yang sangat fatal. Sebagai seorang Muslim seharusnya semua perbuatan dan tindak laku kita senantiasa mengikuti apa yang telah digariskan oleh Islam. Kalaupun dilakukan pengembangan dan kreativifitasi dalam metode sebagai tuntutan zaman, tetap tidak dibenarkan untuk mereduksi ajaran-ajaran Islam yang sudah final.
Tentang dialog antarumat beragama, Islam telah menggariskan dengan jelas, bahkan dalam tataran praktis telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai contoh adalah dialog beliau dengan orang-orang Yahudi tentang kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Orang-orang Yahudi yang diwakili oleh Mahsur bin Subhan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW: “Apa bukti bahwasanya Al-Qur’ân itu berasal dari Allah?” maka turunlah ayat 82 surat An-Nisa:

“…Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Setelah melalui perdebatan dan perbandingan ajaran Islam dan agama-gama mereka, banyak diantara mereka yang kemudian memeluk Islam seperti Abdullah bin Salam, Sa’labah bin Sa’id, Asad bin Ubaid dari golongan Yahudi dan kaum Nashara Najran. [9]
Bertolak pada pandangan Islam terhadap agama lain, bahwa agama-agama tersebut adalah penyimpangan terhadap agama yang haq, maka mengajak mereka kepada Islam adalah suatu kewajiban, menunjukkan kepada mereka penyimpangan-penyimpangan aqidahnya di atas argumentasi dan bukti-bukti yang tak terbantahkan, tentunya dengan hikmah dan ahsan. Firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….”

Dan Firman-Nya dalam surat al-Ankabut ayata 46:

“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,…”

Meskipun demikian, bukan berarti kaum Muslimin diperbolehkan memaksa mereka meninggalkan keyakinannya dan memeluk Islam, Allah menegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”

Sehingga adalah tuduhan yang sangat gegabah, bila mengatakan bahwa karena fanatisme agama (Islam) mengakibatkan ketegangan dan konflik antar umat beragama. Benar kaum Muslimin diperintahkan untuk mengajak mereka kepada kebenaran, akan tetapi tidak dibenarkan memaksa mereka masuk Islam. sebaliknya semakin kuat keyakinan seorang Muslim terhadap agamanya akan menimbulkan sikap toleran yang semakin tinggi pula.
Jadi dialog dalam Islam adalah dalam rangka da’wah, mengajak kepada Islam, agama yang diridhai Allah SWT dan melepaskan aqidah mereka yang menyimpang. Tidak seperti yang dimaksudkan oleh Mukti Ali bahwa dalam melakukan dialog tidak dibenarkan memiliki agenda tertentu dan tujuan yang dirahasiakan.
Selain itu Mukti Ali juga menyebutkan beberapa bentuk dialog agama. Bila kita kritisi dari sudut pandang Islam juga tidak luput dari kekeliruan yang sangat fatal. Misalnya ia menyebutkan bentuk dialog komunikasi Pengalaman Agama, yaitu dialog antaragama melalui komunikasi pengalaman agama , do’a dan meditasi. Ingat kepada Tuhan, tafakkur dan zikir kepada Tuhan, puasa dan bentuk-bentuk latihan lain untuk menguasai diri. Mukti Ali mencontohkan ada pertapa-pertapa Katolik dan pertapa Budha mengadakan dialog intermonastik dimana beberapa minggu lamanya menginap di pertapaan lainnya, untuk dapat memperoleh pengalaman keyakinan dan untuk mempelajari bagaimana kehidupan pendeta-pendeta lain, bagaimana berpuasa, berdo’a dan sebagainya. Demikian juga Dialog Untuk Do’a Bersama, yang mana dihadiri oleh berbagai kelompok agama yang beraneka ragam.
Tentu pandangan seperti ini tidak dapat diterima dalam Islam. mengikuti ritual agama lain dengan dalih apapun tidak akan pernah dibenarkan, meski ia adalah seorang ulama, berilmu tinggi dan beraqidah yang kokoh. Contoh yang sangat baik pernah tunjukkan oleh Nabi SAW, ketika kaum kafir Quraiys mengajak Rasulullah SAW untuk menyembah berhala mereka selama satu tahun, setelah itu mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun pula, namun Rasulullah SAW menolaknya. Allah SWT menurunkan surat al-Kafirun yang di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan. [10]
Demikian pula yang tergambar dalam firman Allah STW, surat al-Isra’ ayat 73-74:

“Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu Hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.

Fenomena dialog antar agama dewasa ini, sebagaimana juga yang dianjurkan dan digagas oleh Mukti Ali bukanlah termasuk yang dibolehkan dalam Islam. Karena dialog agama yang ada lebih condong pada pemasungan kesyumulan Islam dan berusaha mereduksi ajarannya. Mereka selalu berdalih untuk mencari titik persamaan agama sebagai solusi konflik yang sering terjadi, seperti semua agama mengajarkan kebaikan, keadilan, kedamaian, dan cinta kasih. Mereka ingin mengajarkan toleransi beragama pada umat Islam, namun cara yang ditempuh mengharuskan mereduksi sebagian ajara-ajaran Islam yang sudah tsabit (aqidah). Pada sisi yang lain, titik persamaan agama yang dicita-citakan pun adalah sesuatu yang mustahil, karena setiap agama memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda-beda. Konsep Tuhan dalam Islam yang monotheisme jelas berbeda dengan konsep Tuhan Kristen yang menganut konsep trinitas. Hukum hudud dalam Islam adalah wujud keadilan, kebaikan, dan kedamaian, namun itu akan dianggap tidak berprikemanusiaan, barbar dan sebagainya oleh pemeluk agama lain.
Ini dapat dipahami karena memang gagasan dialog antara agama sejak awal bermasalah. Muncul pertama kali tahun 1932 saat Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan para tokoh ulama Al-Azhar di Kairo. Pertemuan itu sengaja dirancang untuk membincangkan mengenai ide penyatuan tiga agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan Konferensi Internasional yang menghadirkan para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas terkemuka di dunia. Konferensi itu diselenggarakan di Paris pada tahun 1933. Tidak lama kemudian, diadakan lagi Konferensi Agama-Agama sedunia tahun 1936. Dialog agama dibangun dengan semangat teologi inkluvisme Kristen.
Pasca perang dunia II, tahun 1964 Paus Paulus VI menulis risalah untuk mengaktifkan kembali dialog antar agama. Pada dasarnya, motif yang melatarbelakangi diadakannya dialog antar agama tersebut tidak lain adalah untuk meredam perbedaan prinsipil yang terkandung dalam masing-masing agama. Dialog dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang sifatnya relative, sehingga setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa ajaran merekalah yang paling benar. Dialog diadakan agar tidak ada lagi satu agama yang memonopoli kebenaran. Kebenaran tunggal harus dihapuskan dan yang ada hanyalah kebenaran relative. [11]
Maka dapat disimpulkan bahwa upaya dialog antar agama yang diusung oleh Mukti Ali sebagai solusi konflik antar umat beragama, tidak sesuai dengan dialog yang diperbolehkan dalam Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.
.................................................................
[1]Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima), hlm. 8

[2]Lihat Q.S Al-Nahl ayat 125

[3] Baca Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012, hlm. 156

[4] Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, dalam Makalah Adian Husaini, Piagam Madinah dan toleransi Beragama, http://insistnet.com/

[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, hlm. 161

[6] Ahmad Syalabi, al Yahudiyah, hlm. 27

[7] Dalam tulisannya Mukti Ali menyebutkan bentuk-bentuk dialog: Dialog Kehidupan, Dialog dalam Kegiatan Sosial, Dialog, komunikasi Pengalaman Agama, Dialog Untuk Do’a Bersama, Dialog diskusi Teologis, Lihat Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, dialog, Dakwah dan Misi, dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia dan Belanda, hlm. 208

[8] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, dialog, Dakwah dan Misi, dalam dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, hlm. 208

[9] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 27. Lihat juga dialog lengkap Rasullah SAW dengan orang-orang Yahudi dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, hadits no. 3169 kitab Al-Jizyatu wa Al-Muwada’atu. Dan hadits No. 6840 Hukum Bagi Ahli Dzimmi dan Perlindungan Mereka apabila Melakukan Perzinahan. Shahih Bukhari, Riyad: Darussalam, 1997, hlm. 646 dan hlm. 1436

[10] Lihat Ibn Katsir, Tafsîru al-Qurâni al-‘adzîm, Beirut: al-Maktabah al’Ashriyah, 2000, Jil. 4, hlm. 109

[11] Muhammad Rais, dialog Antar Agama; Toleransi V Konspirasi, http://dakwatuna/2012/02/18939/ dialog-antar-agama-toleransi-vs-konspirasi/.
Baca Selengkapnya »

28 Nov 2011

Fenomena Studi Agama Berbasis Konsep Barat di Perguruan Tinggi Islam


Oleh: Lukman
Berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna, universal, dan agama wahyu yang sudah final (QS. Al-Maida(5):3), maka Islam tidak akan pernah berubah dan tunduk mengikuti perubahan zaman dan sejarah. Islam akan tetap pada konsepnya sejak awal, sebagai panduan dan tuntunan bagi ummat manusia. Yang salah satu fungsinya untuk menyelesaikan segala problem yang dihadapi manusia. Bukan hanya dalam masalah peribadatan kepada sang Khaliq tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat, interaksi antar manusia yang tentunya berbeda suku, bangsa, ras dan agama (QS. Al-Hujurat(49):13 ).
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."

Dan juga Firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah(2): 62

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Islam mengakui adanya pluralitas atau toleransi dalam beragama, mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik.
Jika kita merujuk pada ayat di atas (QS. 2:62), maka akan terlihat dengan jelas kedudukan Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan agama-agama selain Islam. Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa Al-Qur’an memang mengakui eksistensi agama Yahudi, Nasrani dan Shabiin dengan syarat mereka beriman kepada Allah, hari pembalasan dan beramal shalih. Beriman kepada Allah berarti meyakini segala Firman-Nya, Rasul-Nya dan Hari Akhirat, baik mereka itu tergolong ummat terdahulu-yaitu orang-orang yang beriman kepada para nabi dan pada kitabnya tanpa mengubah dan menggantinya.
Yahudi dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh kepada Taurat dan sunnah nabi Musa a.s sampai datangnya Nabi Isa a.s. Demikian pula Nashrani dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh pada Injil dan syari’at nabi Isa a.s, amal mereka diterima hingga datangnya nabi Muhammad saw. Seperti Salman al-Farisi r.a. yang bertanya tentang kaumnya yang masih beragama shabiin, yang melakukan shalat, shaum dan meyakini akan diutusnya nabi terakhir, tetapi belum memeluk Islam. Maka nabi bersabda bawa mereka adalah ahl Nar (penghuni Neraka).
Sehingga siapa saja yang tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. dan syari’at yang dibawahnya maka ia tertolak amal ibadahnya, sebagaimana Firman Allah QS. Ali-Imran(3):85 :

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Ibnu Abbas dalam mengomentari ayat tersebut di atas menyebutkan bahwa: “Tidak diterima agama dan amal salah seorang diantara kalian hingga sesuai dengan syari’at yang dibawah oleh Rasullah saw.”
Islam sangat toleran dalam menyikapi perbedaan agama-agama atau pluralitas agama, tetapi tidak mengakui pluralisme agama, sebab pluralisme agama sebagaimana definisi yang dikemukakan para ilmuan dalam mengkaji pluralisme agama, salah satunya yang dikemukakan oleh John Hick , yang juga digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mendifinisikan pluralisme agama saat mengeluarkan fatwa tentang keharaman mengikuti paham tersebut, MUI mendefinisikan bahwa “pluralism agama adalah sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar, sedangkan agama yang lain salah.”
Dalam beberapa tahun terakhir ummat Islam Indonesia, khususnya para ulama dan intelektual Islam kembali dihadapkan pada kesibukan membendung paham dan gerakan baru tersebut. Paham bahwa semua agama sama (pularisme agama), Trancendent Unity of Religion, yang pada dasarnya benih-benihnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jika kita melihat pada sejarah, maka sejak masuknya Penjajah Belanda ke Indonesia, mereka sudah menggunakan para orientalis untuk mengkaji Islam dan menyelewengkan pemahaman Islam sehingga ummat Islam tidak lagi kuat memegang agamanya dan pada akhirnya mudah untuk ditaklukkan.
Di antara tokoh orientalis yang digunakan oleh Belanda adalah Christiaan Snouck Hurgronje dengan teori “assosiasi”-nya berusaha mem-Barat-kan ummat Islam yaitu bagaimana ummat Islam didekatkan dengan peradaban Barat, budaya Barat, cara berpikir Barat dan sebagainya. Di sisi lain Belanda juga banyak mendidik dan memberikan beasiswa kepada tokoh-tokoh Indonesia sehingga berpikir seperti mereka, maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Soekarno yang kita dapat saksikan perdebatnya dengan Natsir tentang sekularisme, Soekarno saat itu berpikir seperti Mustafa Kamal Attaturk di Turki bahwa kalau ummat Islam ingin maju harus mengikuti Barat secara total.
Akhir-akhir ini paham semua agama benar kembali menghangat, bahkan menjadi sebuah gerakan baru yang masuk ke dalam jantung-jantung basis ummat Islam. Yang oleh sebagian kalangan terus dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial, seperti penghalalan perkawinan antar agama (dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam) dan lain sebagainya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa salah satu sumber lahirnya atau sarana penyebaran paham pluralisme agama ini adalah diajarkan secara formal di perguruan-perguruan tinggi Islam, melalui mata kuliah “Ilmu Perbandingan Agama” berbasis konsep Barat, bahkan merupakan mata kuliah pokok bagi mahasiswa.
Hal ini diakui sendiri oleh Prof Dr. Azyumardi Azra yang ketika itu menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau mengatakan bahwa :
Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.

Fenomena studi agama berbasis konsep Barat di perguruan tinggi Islam Indonesia memang sangat berbahaya. Seorang sarjana – supaya di katakan ilmiah – kemudian enggan lagi menyatakan, bahwa agamanya adalah yang benar. Jika dia melihat agama-agama lain dari sudut pandang agamanya, maka dia dikatakan “tidak objektif”, atau “tidak ilmiah” dan kepakarannya tidak diakui. Yang objektif-ilmiah adalah yang memandang agama-agama pada posisi netral, alias tidak beragama.
Ilmuwan studi agama akan dikatakan sebagai ilmuwan hebat, menurut metode ini, jika dia tidak bersikap terhadap kebenaran agama-agama, alias memandang semua agama benar, menurut agamanya masing-masing. Jika ditanya pada dia, agama mana yang benar, dia akan menjawab, “Semua agama benar menurut pemeluknya masing-masing.” Atau dia menjawab, “Semua agama benar, karena sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Tuhan yang sama.” Minimal, saat mengajar di kampus, dia dituntut bersikap ilmiah, alias “netral agama.”
Serbuan pemikiran Barat terutama dalam diskursus studi agama-agama terhadap perguruan tinggi Islam memang sangat berdampak besar terhadap perubahan pola pikir dan cara pandang dosen dan mahasiswa terhadap agama di luar islam. Dalam beberapa tahun terakhir dapat disaksikan dengan jelas dampak penyebaran paham tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan disini anatara lain:
1. Skripsi Mahasiswa
Dari penelusuran awal penulis terhadap tugas akhir atau skripsi mahasiswa di perpustakaan UIN SUKA Yogjakarta, ditemukan banyak skrpsi mahasiswa yang menggambarkan dengan jelas pengaruh paham pluralisme agama terhadap mahasiswa, sebagai contoh diantaranya adalah:
a. Konsep Pendidikan Islam Dalam Pluralisme Agama, oleh: Umi Barokah, mahasiswi fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berkesimpulan bahwa: Pertama, Islam mengakui adanya pluralisme agama. Kedua, konsep pendidikan Islam dalam pluralisme agama memformulasikan pendidikan Islam yang memadukan antara normativitas dan kontekstualitas, sehingga pendidikan Islam lebih bersifat humanis dan toleran. Bahkan dalam saran, menyarankan agar para praktisi pendidikan untuk mulai merespon tawaran tentang pendidikan yang berbasis pluralisme agama.
b. Pluralisme Agama dan Dialog Agama (Studi atas Pemikiran Nurcholis Madjid), oleh: Kurniawan, mahasiswa jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berkesimpulan bahwa, pluralisme agama hanyalah ontitas yang berbeda dalam level eksoteris, sedangkan dalam level esoteris, agama-agama saling bertemu. Inilah hakikat agama-agama yang diturunkan Tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.
c. Pluralisme Agama dalam Tafsir Al-Qur’an Modern (Kajian Tafsir al-Manar dan Fi zilalil Qur’an), oleh Mujtahidur Ridho, mahasiswa jurusan Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan pembimbing Dr. Djam’anuri, MA dekan fakultas Ushuluddin. Berkesimpulan bahwa, pluralisme agama adalah kebenaran agama yang tidak hanya terdapat dalam Islam, sebagaimana diyakini oleh ulama klasik, tetapi juga dalam agama-agama selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster, Hindu, Budha dan lain-lain, yang menyakini adanya Tuhan, hari Akhir, dan beramal baik. Dalam tafsir al-Manar, Muhammad Abduh mengatakan, pluralisme agama itu benar-benar fenomena realitasdalam kehidupan beragama yang harus dipraktekkan secara keseluruhan. Artinya mereka para penganut agama-agama selain Islam juga dapat dikatakan benar secara akidah dan keyakinan, bila mereka tetap mengakui tiga unsur kebenaran; yaitu iman kepada Tuhan Yang Esa, percara pada hari akhir, dan selalu berbuat kebajikan.
2. Bermunculannya buku-buku Studi agama berbasis pluralisme
Buku-buku perbandingan agama atau metodologi studi agama-agama yang menyamaratakan semua agama, dan menempatkan Islam sebagai objek kajian yang posisi dan kondisinya seolah-olah sama dengan agama-agama lain, Sekarang ini menjamur dan berjubel di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Peter Connoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS, 2002
2. Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal Metodologi Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2000
3. , Agama dan Keberagaman dalam konteks Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2004
4. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
5. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2001
6. Dan masih banyak buku sejenis lainnya.
Berbicara tentang studi agama di perguruan tinggi Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tokoh pencetusnya yang pertama kali, yaitu Prof. Dr. Abdul Mukti Ali. Bahkan sebagian kalangan menyebut beliau sabagai “Bapak ilmu perbandingan agama Indonesia”. Mukti Ali sebagaimana disebutkan sebagian orang adalah salah satu tokoh yang punya andil besar terhadap subur dan maraknya sekularisme, liberalisme dan pluralisme di Indonesia sekarang ini. Selama belajar di Universitas Karachi Abdul Mukti Ali banyak berinteraksi dengan sejumlah sarjana orientalis Barat yang menulis tentang Islam, yang kemudian bertemu kembali ketika ia belajar di McGill University, Kanada.
Pemahaman Islam Mukti Ali berubah secara fundamental saat di McGill, ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemanan yang sangat dekat dengan professor-professor kajian Islam di universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang pendeta Kristen, pendiri Pusat Studi Islam di McGill University, berkebangsaan Amerika.
Smith adalah sosok yang kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena sikap
ramahnya terhadap Islam dan metodologi yang dipakainya dalam mempelajari
Islam. Menurut Mukti Ali, Smith tidak hanya menarik dari sisi simpatiknya terhadap
Islam tetapi juga dari pendekatan holistik yang digunakannya. Bahwa Islam tidak
semata fenomena normatif, tetapi harus dipandang dari sudut lain, sebagai fakta
sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban
manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan kemanusiaan. Empiris
kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan
fenomena umatnya.
Kekaguman Mukti Ali terhadap Smith tidak hanya sampai disitu, dalam sebuah wawancara dengan Ali Munhanif tahun 1997, Mukti Ali mengatakah bahwa:
Yang terpenting adalah, Prof. Smith memperkenalkan kepada saya suatu pendekatan baru dalam studi Islam. Ia menggunakan analisa perbandingan dalam kajian agama-agama, yaitu, mencoba melihat suatu fenomena keagamaan dari seluruh aspeknya. Kalau boleh saya menyebut, pendekatan itu adalah “pendekatan holistik” terhadap agama. Suatu pendekatan yang banyak mempengaruhi jalan pikiran saya, atau bahkan dalam konteks lebih luas, mengubah sikap saya dalam memahami hidup manusia.

Sepulangnya ke Indonesia, model studi agama inilah yang dikembangkan oleh Mukti Ali di perguruan tinggi Islam-perguruan tinggi Islam, maka kita bisa memahami mengapa buku-buku studi agama di perguruan tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat.
Metode ini telah mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan yang terjebak kepada ”penyamaan” Islam dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman historisitas yang serba relatif.
Studi agama ala Barat ini telah dijajalkan kepada mahasiswa-mahasiswa Islam selama kurang lebih 40 tahun, melalui mata kuliah ilmu perbandingan agama. Mata kuliah ini pertama kali buka di IAIN Yogyakarta pada tahun 1961, dipelopori oleh Mukti Ali, beliau sendiri yang ditunjuk oleh Departemen Agama untuk memimpin program itu dan merumuskan kurikulumya. Seakan tak mengenal lelah, selama 30 tahun Mukti Ali tidak bosan-bosannya memperkenalkan studi perbandingan agama versi dia, karena menurut beliau dengan belajar ilmu perbandingan agama akan menimbulkan sikap “toleran” antar umat beragama. Benarkah demikian..? tentu membutuhkan penelitian lebih mendalam.
Baca Selengkapnya »

2 Mar 2010

Pemikiran Dan Gerakan Da’wah Abdullah Sa’id


Oleh: Lukman bin Ma’sa

Pendahuluan
Abdullah Said adalah salah satu dari sekian tokoh Islam yang telah menggurat sejarah di dunia da’wah khususnya di Indonesia. Beliau bukanlah orang yang hanya kagum membaca sejarah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakangnya. Tetapi beliau benar-benar telah melakukan sesuatu yang pantas dicatat oleh sejarah.
Abdullah Said telah melakukan gerakan da’wah yang sangat luarbiasa dan telah mencetak sekian ratus kader yang tersebar hampir diseluruh pelosok pedalaman tanah air. Melihat besarnya jasa beliau dalam kerja da’wah ini, maka penulis mencoba mengebolarasi pemikiran besar beliau tentang da’wah. Walaupun penulis menyadari sangat tidak mungkin menyajikan secara utuh pemikiran dann gerakan-gerakan da’wah beliau, karena keterbatasan referensi yang penulis miliki. Tetapi mudah-mudahan yang singkat ini memberi manfaat bagi kita yang ingin mengikuti jejak kerja keras beliau dalam mengemban misi da’wah.

Riwayat Hidup Abdullah Said

1. Kelahiran dan Keluarganya

Nama kecil Ustadz Abdullah Said adalah Muhsin Kahar. Lahir tepat pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Jum’at, 17 Agustus 1945, di Lamatti Rilau (Panreng), salah satu desa wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai sekitar 227 km dari Makassar ibu kota Profinsi Sulawesi Selatan.
Sejak masih dalam kandungan Abdullah Said sudah jadi perbincangan keluarga dan masyarakat di kampungnya, sebab usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun belum lahir juga, bahkan ada pandangan miring bahwa yang dikandung itu bukan manusia tetapi buaya atau entah apa.

Ayah Abdullah Said bernama Abdul Kahar Syuaib, seorang ulama kharismatik dan menjabat sebagai imam kampung Lamatti. Dikalangan masyarakaat beliau lebih popular dengan sebutan Puang Imang . Sedangkan Ibunya bernama Aisyah, yang lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica. Ia merupakan istri terakhir yang dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki : Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’), Muhsin Kahar (Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’) . Adapun dari istri pertama Abdul Kahar Syuaib dikaruniai 2 orang anak dan istri yang kedua dikaruniai 6 orang anak.
Setelah berumur 10 tahun Abdullah Said pindah ke Makassar mengikuti Ayahnya. Di Makassar Abdullah Said beserta keluarganya menjalani kehidupan yang memprihatinkan karena belum ada penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Pendidikan
Pendidikan formal Abdullah Said di mulai sejak ia masih di kampung kelahirannya dengan masuk Sekolah Rakyat (SD), namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954. Karena dia harus mengikuti Ayahnya pindah ke Makassar. Abdullah Said diterima di kelas IV Sekolah Rakyat No. 30 Makassar, pendidikan disini dijalaninya hingga tahun 1958. Abdullah Said adalah anak yang cerdas, walaupun dia berasal dari kampung yang sangat terbelakang tapi di kelas dia selalu menjadi bintang kelas. bahkan ketika mengikuti ujian akhir SR, dia mendapatkan nilai tertinggi, yang memungkinkannya untuk memilih sekolah favorit. Dan ternyata pilihannya adalah sekolah agama yaitu Pendidikan Guru Agama Negri 6 Tahun (PGAN 6 tahun). Abdullah Said memilih sekolah ini sebab selain sekolah agama dan unggulan, juga memberikan tunjangan ikatan dinas (disingkat ID) setiap bulannya.
Lulus dari PGAN 6 Tahun (1958-1964) juga dengan nilai tertinggi sehingga ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke IAIN Alaudin Makassar. Namun hanya satu tahun mengikuti kuliah, lalu berhenti. Sebab dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosen telah dibacanya, sehingga dia berkesimpulan bahwa waktu dan energy yang dikorbankan tidak seimbang dengan hasil yang didapatnya.
Adapun pendidikan yang diperoleh Abdullah Said dengan jalur nonformal adalah pendidikan melalui bacaan, masjid, pergaulan dan mendatangi para ulama.
Kegemaran membaca buku sudah terlihat sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun Makassar. Hampir seluruh tunjangan ID yang dia terima setiap bulan dimanfaatkan untuk membeli buku, setiap hari libur tempat wisatanya adalah toko buku. Adapun buku-buku kegemarannya adalah karya-karya Buya Hamka, K.H.M. Isa Anshary, A. Hasan, dan M. Natsir.
Sedangkan pendidikan melalui masjid beliau terima ketika ayahnya sering mengajaknya aktif di masjid dan mendatangi masjid-masjid dimana disitu diadakan pengajian rutin, seperti mendatangi Masjid Raya Makassar setiap Magrib dan Subuh yang relative jauh dari rumahnya. Melalui pergaulan, keaktifan di organisasi dan LSM serta pertemanannya dengan aktivis dan tokoh-tokoh LSM juaga sangat berperan besar dalam perkembangan pengetahuan dan pengalaman Abdullah Said. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi teman akrabnya adalah Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Amien Rais, Adi Sasono dan lain-lain.
Setelah Abdullah Said berhenti dari kuliah, beliau menekuni pendidikan yang dapat mengantarkan beliau menjadi seorang ahli agama. Diantara ulama tempat beliau berguru adalah K.H. Abdul Djabbar Asyiri, Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan pendiri Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Makassar, yang membimbingnya menghafal dan memahami hadits. Guru lainnya adalah Abdul Malik Ibrahim, mantan Direktur PGAN Makassar membimbingnya belajar Bahasa Arab. Sedangkan gurunya dalam memahami dan mengkaji al-Qur’an adalah K.H. Ahmad Marzuki Hasan, pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros.
Selain berguru kepada ulama-ulama yang ada di Makassar Abdullah Said juga belajar ke pulau Jawa, tujuan beliau adalah Pondok Modern Gontor Ponorogo, tetapi beliau hanya belajar seminggu, untuk kemudian pindah ke Pesantren Persis Bangil. Di sini Abdullah Said banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan (Putra A. Hasan) dan tidak jarang beliau diminta menjadi khatib Jum’at serta ceramah di masjid-masjid Persis. Setelah tiga bulan beliau pindah ke Jakarta dan kemudian kembali ke Makassar melakukan pengkaderan du’at.

3. Kiprah di Organisasi
a. Organisasi Pelajar
Ketika masih duduk di bangku PGAN 6 Tahun Makassar, Abdullah Said memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai wadah berkiprah. Sebab dia melihat PII memiliki militansi yang kuat dalam memperjuangkan Islam dan sangat gigih menentang keberadaan PKI di negri ini.

b. Organisasi Pemuda
Organisasi pemuda yang digeluti Abdullah Said adalah organisasi Pemuda Muhammadiyah. Abdullah Said menjadi pengurus organisasi ini dari tingkat cabang hingga pengurus Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, periode 1966-1968. Dalam kepengurusan ini Abdullah Said duduk sebagai ketua Biro Da’wah dan Publikasi. Pada tahun 1967 beliau diutus mengikuti pengkaderan instruktur tingkat nasional di Yogyakarta.
Selain aktif di Pemuda Muhammadiyah, Abdullah said juga bergabung dalam organisasi pemuda-pelajar Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Sulawesi Selatan, serta aktif dalam kepengurusan organisasi yang bersifat kedaerahan, yakni Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sinjai (HIPPMAS).

c. Organisasi Politik
Dengan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang didukung penuh ormas dan organisasi Islam dengan harapan menjadi penjelmaan Masyumi yang dibubarkan Persiden Soekarno. Abdullah Said tertarik melibatkan diri dalam Parmusi kota Makassar karena ingin terlibat dalam mewujudkan cita-cita Masyumi.
Pada saat Kongres I Parmusi di Malang, Abdullah Said menjadi salah satu peserta, dia sangat berharap agar tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai sebagaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang.
Akan tetapi intervensi pemerintah yang mengeliminasi keputusan kongres yang telah berhasil memutuskan Mohammad Roem sebagai ketua umum membuat kecewa Abdullah Said hingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatannya di partai, dan kembali menggeluti dunianya semula yaitu dunia da’wah.

Gerakan Da’wah Abdullah Said

Aksi-aksi da’wah Abdullah Said mulai terlihat saat beliau aktif diberbagai organisasi pelajar dan kepemudaan. Sebab ketika bergabung ke suatu organisasi beliau selalu menempati bidang yang disukai dan diminatinya yaitu bidang da’wah dan pengkaderan. Beberapa aksi da’wah yang dilakukan Abdullah Said adalah:
1. Ketika baru berusia 13 tahun, masih duduk di kelas I Pendidikan Guru Agama, beliau telah aktif mengisi khutbah jum’at di berbagai masjid di Makassar termasuk di Masjid Ta’mirul Masjid, ini adalah masjid terbesar kedua di kota Makassar saat itu setelah masjid Raya Makassar. Selain itu beliau juga aktif mengadakan kursus-kursus pidato untuk anak-anak seusianya.

2. Aktif melakukan pengkaderan pemuda Muhammadiyah diberbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Tenggara ketika beliau duduk sebagai Ketua Biro Da’wah dan Publikasi Pemuda Muhammadiyah Sulselra periode 1966-1968.

3. Melakukan pengganyangan perjudian di kota Makassar, tepatnya Rabu (malam), 27 Agustus 1969, Abdullah Said mengumpulkan dan mengarahkan pemuda-pemuda Muhammadiyah untuk melakukan pengganyangan. Maka Kamis malam (28 Agustus 1969), kader-kader yang telah digembleng Abdullah Said di Maros dan pemuda-pemuda Muhammadiyah kota Makassar melakukan penyerbuan dan mengobrak abrik tempat perjudian lotto . Peristiwa yang menghebohkan di Sulawesi Selatan ini membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak tokoh dan pemuda Muhammadiyah di tahan. Sedangkan Abdullah Said atas saran pimpinan Muhammadiyah dan teman-teman yang ditahan untuk tidak menyerahkan diri dan meninggalkan kota Makassar. Selama 4 bulan Abdullah Said di kejar-kejar polisi hingga akhirnyaia harus mengganti nama dari Muhsin Kahar menjadi Abdullah Said dan hijrah ke Balikpapan Kalimantan Timur.

4. Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said ketika tiba di Balikpapan (Maret 1970) adalah mencari bibit kader, maka dilakukanlah penggalangan anak muda, mereka dikumpulkan untuk dikader beberapa bulan. Kemudian tahun 1971, Abdullah Said kembali mengadakan Training Center (TC) Darul Arqam I, dan tahun 1972 TC Darul Arqam II. Dia pun aktif membentuk dan mengisi pengajian rutin dibeberapa masjid di Balikpapan (1970-1972)

5. Memulai membuka pesantren. Ketika pengajian binaan Abdullah Said mulai marak, beliau pun berfikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan da’i. Dalam perjalanan pendirian pusat pengkaderan ini, terjadi beberapa kali perpindahan lokasi pesantren :
Pertama, Sepulang dari Jakarta yang memboyong beberapa anak muda sebagai tenaga pengajar, kegiatan pesantren untuk pertama kalinya dilakukan di rumah Muhammad Rasyid di Gunung Sari. Ditempat inilah berkunjung beberapa tokoh diantaranya, K.H. AR. Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah), Mei 1973 hadir Buya Hamka, kemudian diakhir tahun hadir Buya Abdul Malik Ahmad, disusul Prof. DR. Kahar Muzakkir.
Kedua, Pada hari Sabtu, 1 Muharram 1394 H (26 Januari 1974), lokasi pesantren pindah kesebidang tanah di daerah Karang Rejo, di daerah yang sangat sepi dan serba terbatas ini didirikan dua buah gubung kecil sebagai tempat belajar. Selama satu tahun kegiatan pengkaderan dilakukan ditempat ini.
Ketiga, Memulai sejarah baru di Karang Bugis, dilokasi baru ini, para santri menempati sebuah emperan rumah milik seorang penduduk sebagai tempat belajar. Setelah beberapa lama, seorang tokoh masyarakat di Karang Bugis bernama H. Andi Kadir Mappassosong mewakafkan tanah seluas 0,5 hektar. Di atas tersebut Abdullah Said membuat perencanaan pembangunan mushalla, aula serba guna, asrama dan tempat belajar.
Keempat, Membuka Kampus Gunung Tembak (Maret 1976). Setelah di Karang Bugis dirasa semakin sempit, karena banyaknya santri, maka Abdullah Said berfikir mendapatkan lokasi yang memungkinkan untuk mengembangan, baik fisik maupun kegiatan. Maka disebarlah beberapa santri ke segala penjuru Balikpapan, pencarian berlangsung berhari-hari, hingga akhirnya ditemukanlah loksi di Gunung Tembak. Atas bantuan Walikota Balikpapan, Letkol (Pol) H. Asnawie Arbain maka pemilik tanah seluas 5,4 Ha tersebut mewakafkannya kepada Pesantren Hidayatullah. Tepat pukul 15.00 tanggal 3 Maret 1976 lokasi ini dimasuki oleh para santri, dan hari Kamis, 5 Agustus 1976, atas saran dari Walikota Balokpapan pesantren Hidayatullah diresmikan.
Peresmian dilakukan oleh Prof. Dr. Mukti Ali (Mentri Agama RI), didampingi oleh KH. Abdullah Syafi’i (Ketua MUI DKI Jakarta) beseta putrinya, Tuty Alawiyah. Sejak itulah pesantren Hidayatullah semakin ramai, santri terus bertambah terutama kedatangan santri-santri dan teman-teman Abdullah Said dari Sulawesi Selatan.

6. Mengirim Da’i ke Pedalaman
Pengkaderan yang intens dan terus menerus telah berhasil menelorkan banyak da’i, yang kemudian disebar ke daerah-daerah pedalaman yang jarang mendapat sentuhan wahyu. Abdullah Said melakukan pengiriman da’i ke daerah pedalaman, untuk pertama kalinya dilaksanakan pada pertengahan tahun 1975, mereka terdiri dari kader-kader yang masih belasan tahun.
Dalam setiap pelepasan da’i ke medan da’wah, Abdullah Said senantiasa menasehatkan kepada kadernya untuk membahasakan perasaan mereka sendiri yaitu nikmatnya mendekatkan diri kepada Allah SWT lewat pengabdian kepadaNya, menghindari permusuhan sesama kaum muslimin, menyampaikan da’wah dengan bahasa yang bijak dan bersahabat, dan tidak melewatkan satu malam pun tanpa melakukan shalat lail.
Sampai tahun 2006 Hidayatullah telah memiliki 30 DPW, 260 DPD dan hingga tahun 2007 Ormas Hidayatullah telah mengirimkan sekitar 1000 du’at ke berbagai daerah pedalaman. Setidaknya setiap tahun dikirim 150 du’at dengan 50 diantaranya merupakan lulusan Strata Satu.
Berbagai kisah da’i Hidayatullah di daerah pedalam dapat ditemui dalam buku berjudul “Menjemput Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para da’i Hidayatullah dalam Perjalanan Da’wahnya”. Dalam buku tersebut dikisahkan bagaimana perjuangan da’i-da’i Hidayatullah di medan da’wah, yang sejak keberangkatannya hanya dibekali ongkos untuk sampai tujuan yang kadang tidak cukup.

7. Penerbitan Majalah Islam
Menerbitkan media massa merupakan satu obsesi besar Abdullah Said. Cita-cita dan harapan hadirnya sebuah media massa milik Pondok Pesantren Hidayatullah terus diwacanakan. Beliau menjelaskan berulang kali betapa urgennya kehadiran sebuah media bagi Hidayatullah, baik media cetak maupun elektronika.
Menurut beliau yang paling mendesak sekarang ini adalah media cetak karena termasuk media da’wah yang sangat efektif. Dapat masuk langsung ke kamar-kamar, dapat dibaca sambil baring, dapat menyampaikan pesan kapan dan dimana saja kepada pembacanya.
Maka setelah melalui persiapan yang panjang, pada 13 Mei 1982 nomor perdana Buletin Da’wah sebagai cikal bakal Suara Hidayatullah mulai terbit. Buletin ini dicetak sebanyak 500 eksemplar. Kemudian September 1986 terbit dalam bentuk majalah ukuran kecil setebal 88 halaman, tetapi mendapat teguran dari Departemen Penerangan (Deppen) karena belum mengantongi Surat Tanda Terbit (STT). Setelha delapan bulan keluranya izin penerbitan (STT) dari Deppen tahun 1986, majalah ‘Suara Hidayatullah” terbit tepatnya pada tanggal 15 Oktober 1987.


Pemikiran Da’wah Abdullah Said
Pemikiran da’wah Abdullah Said dapat ditelusuri dari karya tulis, ceramah dan berbagai aktivitas da’wah beliau, sebagai mana yang telah disebutkan sebelumnya. Jika melihat pada catatan-catatan beliau, memang tidak dijumpai tulisan yang secara khusus membahas pandangan atau pemikiran da’wah beliau, ini dapat dimaklumi sebab beliau memang manusia kerja, “Man of Action” seperti yang dikatakan Amien Rais (Mantan MPR-RI, mantan ketua Umum Muhammadiyah), ketika dimintai komentarnya terhadap pribadi Abdullah Said.
Dari berbagai cacatan, ceramah dan gerakan serta aktivitas da’wahnya, dapat diidentifikasi beberapa gagasan sebagai pemikiran da’wah Abdullah Said sebagai berikut:

1. Totalitas dalam kerja da’wah
Bagi Abdullah Said da’wah adalah prioritas utama, dan itulah janji yang ditanamkan dalam hatinya saat masih dalam kejaran polisi dan akan bertolak meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Balikpapan, bahwa : Dimanapun beliau berada nantinya, umurnya akan dihabiskan untuk mengurus Islam.
Kita pun bisa melihat aktivitas keseharian beliau sejak tiba di kota Balikpapan, waktunya dihabiskan untuk hanya memikirkan dan menda’wahkan Islam. Itu pula yang senantiasa di tekankan kepada santri-santrinya, keseriusan dan totalitas dalam kerja da’wah, sehingga lahirlah mujahid-mujahid da’wah yang siap dikirim ke berbagai pelosok daerah di negri ini, untuk mengemban tugas da’wah.
Beliau pernah mengatakan tentang kerja da’wh ini bahwa: “Da’wah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak menitip amanah ini kepada sembarang orang. Setetes hidayah dari Allah, jauh lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling terkenal sekalipun.”

2. Tentang pengakderan
Sejak umur 13 tahun Abdullah Said sudah memikirkan akan pentingnya kader dalam kelanjutan da’wah ini, maka yang senantiasa dilakukan oleh beliau adalah melakukan pengkaderan. ketika aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PPI), Dia giat mengadakan kursus-kursus pidato untuk anak-anak seusianya. Karena menurut beliau seorang da’i harus memiliki keberanian untuk tampil di depan umum untuk menyampaikan pesan-pesan Allah SWT dan RasulNya. Pengkaderan dan pelatihan muballigh, terus beliau jalankan tanpa henti, hingga beliau wafat.
Tingginya perhatian beliau terhadap pengkaderan ini sehingga beliau terus berpikir untuk mencari metode pengkaderan yang dapat melahirkan kader-kader yang tangguh, sebagaimana pengkaderan yang dilakukan Rasulullah yang melahirkan kader-kader seperti, Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a, Ali r.a dan sahabat-sahabat lainnya. Maka dari kajian dan diskusi yang beliau lakukan, melahirkan sebuah metode yang digunakan dalam mendidik kader yang disebut “Sistematika Nuzulul Wahyu”.
Terkait dengan pembinaan kader ini, Abdullah Said menyatakan bahwa: kaderisasi adalah permasalahan serius yang dighadapi oleh hampir setiap organisasi. Sehingga sering dikatakan, “sekarang kita sedang mengalami krisis kader”.
Abdullah Said berpandangan bahwa kader menjadi dewasa bukan karena kemanjaan tapi karena keprihatinan. Dari hidup yang prihatin terasah persaannya, tajam intuisinya, peka jiwanya, tanggap nurainya. Pikirannya terlatih, keterampilannya terbina, pelan-pelam jiwa kepemimpinannya terbangun.

3. Tentang da’i
Hal yang tak kalah penting dan selalu ditekankan oleh Abdullah said adalah bahwa letak keberhasilan ceramah atau da’wah bukan hanya ditentukkan semata karena kemahiran beretorika. Perhatian pendengar dan audiens sangat ditentukan oleh perilaku dan akhlak da’i. orang memperhatikan budi pekerti dan tingkah laku sehari-hari. Itulah sebabnya hal ini justru menjadi prioritas utama. Beliau mengatakan : ”Da’wah yang lebih didengar adalah da’wah yang diidukung oleh pembuktian nayat, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan keluarga.”
Hal lain yang selalu ditekankan oleh Abdullah Said kepada para da’i Hidayatullah adalah agar tidak meninggalkan shalat lail demi suksesnya da’wah. Menurut beliau seorang da’i adalah pejuang Islam yang memikul beban yang sangat berat sehingga seharusnya dia senantiasa dekat dengan Allah SWT yang akan memberikan keringanan dan kemudahan dalam menjalankan misi da’wahnya. Beliau mengatakan: “Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”

4. Manhaj atau metode da’wah
Mengenai manhaj dan metode da’wah ini Abdullah Said mengatakan bahwa: “Karena ketidak jelasan manhaj, kadang-kadang da’wah Islam tidak lebih sekedar hura-hura”.
Dengan menapak tilas perjalanan Rasulullah, Abdullah Said berusaha keras memetik hikmah dari kondisi yang dialami Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu hingga turunnya 5 surat pertama sebagai bahan pembinaan. Menurut pendapatnya, Allah SWT yang merekayasa kondisi Nabi Muhammad demikian itu tentu punya target. Setelah melalui pengkajian yang intens Abdullah Said akhirnya merumuskan suatu metode pembinaan berdasarkan tertib turunnya lima surat pertama, yang kemudian dikenal dengan Manhaj Sistematika Nuzulul Wahyu. Yang selanjutnya metode ini dijadikan sebagai manhaj da’wah Hidayatullah.

Penutup
Sebagai penutup dari pemaparan tentang Pemikiran dan Gerakan Da’wah Abdullah Said ini, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, bahwa belaiau benar-benar adalah seorang da’i yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengembagkan dan menyebarkan da’wah Islam. Beliau telah berhasil menggurat sejarah, dengan mencetak ratusan bahkan ribuan da’i, yang kemudian disebar keberbagai penjuru tanah air.
Pemikiran dan aksi da’wah beliau telah membawa warnah dan corak tersendiri bagi pergerakan da’wah di Indonesia. Beliau selalu melakukan inovasi-inavasi baru dalam aksi da’wahnya, sehingga membawah ciri tersendiri bagi ormas yang beliau dirikan yaitu Hidayatullah. Beliau bukanlah manusia ide, tetapi manusia kerja.




Daftara Pustaka

1. Manshur Salbu, Mencetak Kader, Perjalanan Hidup Ustadz Abdullah Said Pendiri Hidayatullah, Surabaya: Hidayatullah Publishing, 2009
2. Saiful Hamiwanto, Menjemput Pertolongan Allah : kumpulan Kisah Penuh ‘Keajaiban’ Para da’i Hidayatullah dalam Perjalanan Da’wahnya, Jakarta : Pustaka Inti, 2005
3. Arif Husni Majid, Skripsi di STID Mohammad Natsir Jakarta dengan judul: Sistem Pengkaderan Du’at (Studi Tentang System Pengkaderan du’at Hidayatullah Gn. Tembak Balikpapan), Bekasi, 2008
4. Majalah Suara Hidayatullah, edisi 01/xx Mei 2007 M Rabiul Akhir 1428 H
5. Majalah Suara Hidayatullah, Edisi khusus Milad 2008
6. http://www.hidayatullah.or.id
Baca Selengkapnya »
Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com