Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

28 Nov 2011

Fenomena Studi Agama Berbasis Konsep Barat di Perguruan Tinggi Islam


Oleh: Lukman
Berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna, universal, dan agama wahyu yang sudah final (QS. Al-Maida(5):3), maka Islam tidak akan pernah berubah dan tunduk mengikuti perubahan zaman dan sejarah. Islam akan tetap pada konsepnya sejak awal, sebagai panduan dan tuntunan bagi ummat manusia. Yang salah satu fungsinya untuk menyelesaikan segala problem yang dihadapi manusia. Bukan hanya dalam masalah peribadatan kepada sang Khaliq tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat, interaksi antar manusia yang tentunya berbeda suku, bangsa, ras dan agama (QS. Al-Hujurat(49):13 ).
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."

Dan juga Firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah(2): 62

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Islam mengakui adanya pluralitas atau toleransi dalam beragama, mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik.
Jika kita merujuk pada ayat di atas (QS. 2:62), maka akan terlihat dengan jelas kedudukan Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan agama-agama selain Islam. Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa Al-Qur’an memang mengakui eksistensi agama Yahudi, Nasrani dan Shabiin dengan syarat mereka beriman kepada Allah, hari pembalasan dan beramal shalih. Beriman kepada Allah berarti meyakini segala Firman-Nya, Rasul-Nya dan Hari Akhirat, baik mereka itu tergolong ummat terdahulu-yaitu orang-orang yang beriman kepada para nabi dan pada kitabnya tanpa mengubah dan menggantinya.
Yahudi dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh kepada Taurat dan sunnah nabi Musa a.s sampai datangnya Nabi Isa a.s. Demikian pula Nashrani dikatakan benar ketika mereka berpegang teguh pada Injil dan syari’at nabi Isa a.s, amal mereka diterima hingga datangnya nabi Muhammad saw. Seperti Salman al-Farisi r.a. yang bertanya tentang kaumnya yang masih beragama shabiin, yang melakukan shalat, shaum dan meyakini akan diutusnya nabi terakhir, tetapi belum memeluk Islam. Maka nabi bersabda bawa mereka adalah ahl Nar (penghuni Neraka).
Sehingga siapa saja yang tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. dan syari’at yang dibawahnya maka ia tertolak amal ibadahnya, sebagaimana Firman Allah QS. Ali-Imran(3):85 :

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Ibnu Abbas dalam mengomentari ayat tersebut di atas menyebutkan bahwa: “Tidak diterima agama dan amal salah seorang diantara kalian hingga sesuai dengan syari’at yang dibawah oleh Rasullah saw.”
Islam sangat toleran dalam menyikapi perbedaan agama-agama atau pluralitas agama, tetapi tidak mengakui pluralisme agama, sebab pluralisme agama sebagaimana definisi yang dikemukakan para ilmuan dalam mengkaji pluralisme agama, salah satunya yang dikemukakan oleh John Hick , yang juga digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mendifinisikan pluralisme agama saat mengeluarkan fatwa tentang keharaman mengikuti paham tersebut, MUI mendefinisikan bahwa “pluralism agama adalah sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar, sedangkan agama yang lain salah.”
Dalam beberapa tahun terakhir ummat Islam Indonesia, khususnya para ulama dan intelektual Islam kembali dihadapkan pada kesibukan membendung paham dan gerakan baru tersebut. Paham bahwa semua agama sama (pularisme agama), Trancendent Unity of Religion, yang pada dasarnya benih-benihnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jika kita melihat pada sejarah, maka sejak masuknya Penjajah Belanda ke Indonesia, mereka sudah menggunakan para orientalis untuk mengkaji Islam dan menyelewengkan pemahaman Islam sehingga ummat Islam tidak lagi kuat memegang agamanya dan pada akhirnya mudah untuk ditaklukkan.
Di antara tokoh orientalis yang digunakan oleh Belanda adalah Christiaan Snouck Hurgronje dengan teori “assosiasi”-nya berusaha mem-Barat-kan ummat Islam yaitu bagaimana ummat Islam didekatkan dengan peradaban Barat, budaya Barat, cara berpikir Barat dan sebagainya. Di sisi lain Belanda juga banyak mendidik dan memberikan beasiswa kepada tokoh-tokoh Indonesia sehingga berpikir seperti mereka, maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Soekarno yang kita dapat saksikan perdebatnya dengan Natsir tentang sekularisme, Soekarno saat itu berpikir seperti Mustafa Kamal Attaturk di Turki bahwa kalau ummat Islam ingin maju harus mengikuti Barat secara total.
Akhir-akhir ini paham semua agama benar kembali menghangat, bahkan menjadi sebuah gerakan baru yang masuk ke dalam jantung-jantung basis ummat Islam. Yang oleh sebagian kalangan terus dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial, seperti penghalalan perkawinan antar agama (dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam) dan lain sebagainya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa salah satu sumber lahirnya atau sarana penyebaran paham pluralisme agama ini adalah diajarkan secara formal di perguruan-perguruan tinggi Islam, melalui mata kuliah “Ilmu Perbandingan Agama” berbasis konsep Barat, bahkan merupakan mata kuliah pokok bagi mahasiswa.
Hal ini diakui sendiri oleh Prof Dr. Azyumardi Azra yang ketika itu menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau mengatakan bahwa :
Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.

Fenomena studi agama berbasis konsep Barat di perguruan tinggi Islam Indonesia memang sangat berbahaya. Seorang sarjana – supaya di katakan ilmiah – kemudian enggan lagi menyatakan, bahwa agamanya adalah yang benar. Jika dia melihat agama-agama lain dari sudut pandang agamanya, maka dia dikatakan “tidak objektif”, atau “tidak ilmiah” dan kepakarannya tidak diakui. Yang objektif-ilmiah adalah yang memandang agama-agama pada posisi netral, alias tidak beragama.
Ilmuwan studi agama akan dikatakan sebagai ilmuwan hebat, menurut metode ini, jika dia tidak bersikap terhadap kebenaran agama-agama, alias memandang semua agama benar, menurut agamanya masing-masing. Jika ditanya pada dia, agama mana yang benar, dia akan menjawab, “Semua agama benar menurut pemeluknya masing-masing.” Atau dia menjawab, “Semua agama benar, karena sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Tuhan yang sama.” Minimal, saat mengajar di kampus, dia dituntut bersikap ilmiah, alias “netral agama.”
Serbuan pemikiran Barat terutama dalam diskursus studi agama-agama terhadap perguruan tinggi Islam memang sangat berdampak besar terhadap perubahan pola pikir dan cara pandang dosen dan mahasiswa terhadap agama di luar islam. Dalam beberapa tahun terakhir dapat disaksikan dengan jelas dampak penyebaran paham tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan disini anatara lain:
1. Skripsi Mahasiswa
Dari penelusuran awal penulis terhadap tugas akhir atau skripsi mahasiswa di perpustakaan UIN SUKA Yogjakarta, ditemukan banyak skrpsi mahasiswa yang menggambarkan dengan jelas pengaruh paham pluralisme agama terhadap mahasiswa, sebagai contoh diantaranya adalah:
a. Konsep Pendidikan Islam Dalam Pluralisme Agama, oleh: Umi Barokah, mahasiswi fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berkesimpulan bahwa: Pertama, Islam mengakui adanya pluralisme agama. Kedua, konsep pendidikan Islam dalam pluralisme agama memformulasikan pendidikan Islam yang memadukan antara normativitas dan kontekstualitas, sehingga pendidikan Islam lebih bersifat humanis dan toleran. Bahkan dalam saran, menyarankan agar para praktisi pendidikan untuk mulai merespon tawaran tentang pendidikan yang berbasis pluralisme agama.
b. Pluralisme Agama dan Dialog Agama (Studi atas Pemikiran Nurcholis Madjid), oleh: Kurniawan, mahasiswa jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berkesimpulan bahwa, pluralisme agama hanyalah ontitas yang berbeda dalam level eksoteris, sedangkan dalam level esoteris, agama-agama saling bertemu. Inilah hakikat agama-agama yang diturunkan Tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.
c. Pluralisme Agama dalam Tafsir Al-Qur’an Modern (Kajian Tafsir al-Manar dan Fi zilalil Qur’an), oleh Mujtahidur Ridho, mahasiswa jurusan Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan pembimbing Dr. Djam’anuri, MA dekan fakultas Ushuluddin. Berkesimpulan bahwa, pluralisme agama adalah kebenaran agama yang tidak hanya terdapat dalam Islam, sebagaimana diyakini oleh ulama klasik, tetapi juga dalam agama-agama selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster, Hindu, Budha dan lain-lain, yang menyakini adanya Tuhan, hari Akhir, dan beramal baik. Dalam tafsir al-Manar, Muhammad Abduh mengatakan, pluralisme agama itu benar-benar fenomena realitasdalam kehidupan beragama yang harus dipraktekkan secara keseluruhan. Artinya mereka para penganut agama-agama selain Islam juga dapat dikatakan benar secara akidah dan keyakinan, bila mereka tetap mengakui tiga unsur kebenaran; yaitu iman kepada Tuhan Yang Esa, percara pada hari akhir, dan selalu berbuat kebajikan.
2. Bermunculannya buku-buku Studi agama berbasis pluralisme
Buku-buku perbandingan agama atau metodologi studi agama-agama yang menyamaratakan semua agama, dan menempatkan Islam sebagai objek kajian yang posisi dan kondisinya seolah-olah sama dengan agama-agama lain, Sekarang ini menjamur dan berjubel di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Peter Connoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS, 2002
2. Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal Metodologi Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2000
3. , Agama dan Keberagaman dalam konteks Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2004
4. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
5. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2001
6. Dan masih banyak buku sejenis lainnya.
Berbicara tentang studi agama di perguruan tinggi Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tokoh pencetusnya yang pertama kali, yaitu Prof. Dr. Abdul Mukti Ali. Bahkan sebagian kalangan menyebut beliau sabagai “Bapak ilmu perbandingan agama Indonesia”. Mukti Ali sebagaimana disebutkan sebagian orang adalah salah satu tokoh yang punya andil besar terhadap subur dan maraknya sekularisme, liberalisme dan pluralisme di Indonesia sekarang ini. Selama belajar di Universitas Karachi Abdul Mukti Ali banyak berinteraksi dengan sejumlah sarjana orientalis Barat yang menulis tentang Islam, yang kemudian bertemu kembali ketika ia belajar di McGill University, Kanada.
Pemahaman Islam Mukti Ali berubah secara fundamental saat di McGill, ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemanan yang sangat dekat dengan professor-professor kajian Islam di universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang pendeta Kristen, pendiri Pusat Studi Islam di McGill University, berkebangsaan Amerika.
Smith adalah sosok yang kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena sikap
ramahnya terhadap Islam dan metodologi yang dipakainya dalam mempelajari
Islam. Menurut Mukti Ali, Smith tidak hanya menarik dari sisi simpatiknya terhadap
Islam tetapi juga dari pendekatan holistik yang digunakannya. Bahwa Islam tidak
semata fenomena normatif, tetapi harus dipandang dari sudut lain, sebagai fakta
sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban
manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan kemanusiaan. Empiris
kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan
fenomena umatnya.
Kekaguman Mukti Ali terhadap Smith tidak hanya sampai disitu, dalam sebuah wawancara dengan Ali Munhanif tahun 1997, Mukti Ali mengatakah bahwa:
Yang terpenting adalah, Prof. Smith memperkenalkan kepada saya suatu pendekatan baru dalam studi Islam. Ia menggunakan analisa perbandingan dalam kajian agama-agama, yaitu, mencoba melihat suatu fenomena keagamaan dari seluruh aspeknya. Kalau boleh saya menyebut, pendekatan itu adalah “pendekatan holistik” terhadap agama. Suatu pendekatan yang banyak mempengaruhi jalan pikiran saya, atau bahkan dalam konteks lebih luas, mengubah sikap saya dalam memahami hidup manusia.

Sepulangnya ke Indonesia, model studi agama inilah yang dikembangkan oleh Mukti Ali di perguruan tinggi Islam-perguruan tinggi Islam, maka kita bisa memahami mengapa buku-buku studi agama di perguruan tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat.
Metode ini telah mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan yang terjebak kepada ”penyamaan” Islam dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman historisitas yang serba relatif.
Studi agama ala Barat ini telah dijajalkan kepada mahasiswa-mahasiswa Islam selama kurang lebih 40 tahun, melalui mata kuliah ilmu perbandingan agama. Mata kuliah ini pertama kali buka di IAIN Yogyakarta pada tahun 1961, dipelopori oleh Mukti Ali, beliau sendiri yang ditunjuk oleh Departemen Agama untuk memimpin program itu dan merumuskan kurikulumya. Seakan tak mengenal lelah, selama 30 tahun Mukti Ali tidak bosan-bosannya memperkenalkan studi perbandingan agama versi dia, karena menurut beliau dengan belajar ilmu perbandingan agama akan menimbulkan sikap “toleran” antar umat beragama. Benarkah demikian..? tentu membutuhkan penelitian lebih mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com