Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

8 Jun 2009

Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf : Konspirasi Merusak Islam


Oleh: Lukman bin Ma'sa

Bagi yang bersikap objektif dalam menelaah buku-buku tasawuf dan risalah-risalah ahli tasawuf, meneliti biografi tokoh-tokohnya dan gaya hidup kaum sufi, keadaan serta tingkatan-tingkatan mereka, mengupas asas-asas dankaidah-kaidah mereka, pasti dapat menilai bahwa ajaran tasawuf ditegakkan atas dasar sikap ekstrim dan penyelisihan syari’at, gabungan dari akumulasi bid’ah-bid’ah, kesesatan dan penyimpangan.
Pada bahasan ini penulis akan mencoba mengklasifikasiakan secara singkat penyimpangan-penyimpangan yang telah mereka lakukan. Dimana penyimpangan-penyimpangan itu dapat kita simpulkan dari pokok-pokok ajaran mereka.

1. Penyimpangan Dalam Aqidah
Aqidah tasawuf berbeda dengan aqidah al-Qur’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan faktor penerimaan ajaran dan sumber aqidah itu. Dalam Islam, aqidah hanya ditetapkan denga al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalam tasawuf aqidah ditetapkan dengan “ilham”, wahyu yang dipercayai milik para wali. Menurut pengakuan mereka, perkara gaib tampak seluruhnya bagi para wali sufi, denga kasyf dan dengan mengikatkan hati pada Rasulullah. Dan secara garis besar, sumber pengetahuan gaib sufistik itu banyak sekali.

Maka ketika sumber-sumber itu berbilang sedemikian rupa, maka aqidah itu sendiri sangat luas, berkembang, berubah-ubah, dan berlainan, bahkan berlawanan antara sufi satu dengan sufi lain. Masing-masing mengatakan apa yang didapat dari kasyf –nya, dan apa yang tertangkap dalam benaknya.

a. Aqidah tentang Allah
Seorang sufi meyakini Allah dengan aqidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah hulul (inkarnasi) seperti mazhab al-Hallaj , dan juga wihadtul wujud yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khalik dan makhluk. Inilah aqidah terakhir yang berkembang sejak abad ketiga hingga kini. Akhirnya, setiap tokoh aqidah ini mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul karim al-Jaily, Abdul Ghani al-Nabalisy, dan juga mayoritas pimpinan tarekat sufi kontemporer.

b. Aqidah tentang Rasulullah (Kenabian)
Aqidah tentang Rasulullah pun diyakini oleh seorang siufi dengan aqidah yang beraneka ragam. Diantara mereka ada yang meyakini bahwa Rasulullah tidak tidak mencapai martabat dan kondisi para sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para sufi, seperti yang diungkapkan Busthamy, ”kami menyelami lautan yang para nabi berhenti di pantainya.” dianatara mereka ada juga yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jaagad raya ini. Dialah Allah yang bersemayam di atas Arasy. Langit, bumi, Arasy, kursy (singgasana), dan seluruh yang ada diciptakan dari cahaya Muhammad. Muhammadlah yang pertama maujud. Dialah yang bersemayam di atas Arasy Allah. Demikianlah aqidah Ibnu Araby dan sufi sesudahnya.
Bahkan Ibn Taimiyah mengimformasikan pada masa hidupnya banyak dianatara kaum sufi yang meminta agar dapat memperoleh apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan mengharap agar diberi mushaf-mushaf untuk disebarluaskan. Gagasan tersebut banyak dipengaruhi oleh teori-teori kenabian dikalangan para filosof, sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa pintu kenabian selalu terbuka dan tidak mungkin tertutup.

c. Aqidah tentang Para Wali
Keyakinan tentang wali juga bermacam-macam sebagaimana beraneka ragamnya aqidah mereka. Diantara mereka ada yang mengutamakan wali daripada Nabi. Pada umumnya mereka menyamakan wali dengan Allah dalam setiap sifatnya. Singkatnya, wali dalam keyakinan mereka adalah para wali itu alim, keramat dan sempurna.
Pastinya, konsep demikian berbeda dengan konsep kewalian dalam Islam yang berdasar kepada ketakwaan, amal shalih, ibadah yang sempurna dan sikap fakir atau butuh kepada Allah. Firman Allah:
        
”Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak Kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan".

d. Aqidah tentang Surga dan Neraka
Seluruh sufi meyakini bahwa mencari surga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari surga. Yang mereka cari hanyalah cinta dan ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir kegaiban, dan berkuasa atas alam ini. Itulah surga yang dipercayai oleh sufi.
Mereka juga meytakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh sufi yang sempurna, karena rasa takut akan neraka merupakan watak dari seorang hamba. Neraka bagi mereka tidaklah panas. Bahkan ada diantara sufi yang bersikap sombong bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya, seperti yang dikatakan Busthamy. Adapun yang beraqidah wihdatul wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, sama dengan orang yang masuk surga. Inilah aqidah Ibnu Araby seperti yang dinyatakan dalam Al-Fushush.
Lebih hebat lagi, Al-Qusyeiri, Al-Aththar, Al-Kalabadzi dan Al-Kamasykhanawi serta pengarang-pengarang sufi lainnya yang membawakan kisah tokoh sufi wanita, Rabi’ah Al-Adawiyah; ”suatu hari Rabi’ah jatuh sakit, lalu ditanya: ”Apa yang menyebabkan engkau sakit?” Ia menjawab: ”Aku melihat surga dengan mata hatiku, lalu hatiku cemburu kepada diriku, ia pun memberikan pelajaran kepadaku. Setelah itu aku bersumpah untuk tidak mengulanginya lagi.”

e. Aqidah tentang Iblis dan Fir’aun
Mayoritas sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makluk terbaik dalam hal aqidah karena mempercayai Iblis tidak bersujud kecuali kepada Allah. Begitu juga Fir’aun bagi mereka adalah orang yang paling baik tauhidnya, karena ia pernah berkata, ”Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” disini Fir’aun mengetahui hakikat karena setiap yang maujud itulah Allah. Dalam keyakinan mereka, Fir’aun termasuk orang yang beriman dan masuk surga.

2. Peyimpangan Dalam Syari’at
Syari’at adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebaikan hanyalah yang dikatakan baik oleh Allah dan Nabin-Nya, dan yang buruk serta tercela, hanyalah yang dikatakan buruk dan dicela Allah dan Rasul-Nya. Akal dan rasional tidak boleh campur tangan dalam hal ini. Hukum asal ibadah adalah dilarang, (kecuali yang dikatakan ibadah oleh Syari’at) demikian pula hukum asal dalam masalah muamalat adalah dibolehkan.
Kaum sufi tidak meneladani Rasulullah saw. dalam keseharian mereka, baik dalam masalah ibadah maupun muamalah, sebaliknya mereka membuat kreasi-kreasi baru dalam ibadah yang tidak dikenal sama sekali pada zaman Rasulullah maupun sahabat. Di bawah ini akan disebutkan beberapa tindakan kaum sufi yang kontradiktif dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

a. Syari’at Tasawuf tentang Ibadah
Menurut keyakinan sufi bahwa shalat, puasa, haji dan zakat adalah ibadah-ibadah orang awam, sedangkan mereka menyebutkan dirinya sebagai kaum khusus. Oleh karenanya mereka memiliki tatacara ibadah tertentu.
Setiap sufi mensyari’atkan syari’at-syari’at tertentu dalam ibadah untuk mereka seperti dzikir tertentu dengan tatacara tertentu, khalwah, memakan makanan tertentu, pakaian khusus, dan halaqah atau perkumpulan tertentu.
Tujuan ibadah dalam ajaran tasawuf adalah untuk mengikatkan hati pada Allah untuk menerima ajaran secara langsung menurut kepercayaan mereka, ”fana dalam Allah”, mencari kabar gaib dari Rasulullah, dan berakhlak dengan akhlak Allah. Sehingga, seoranag sufi dapat menyingkap rahasia penciptaan, melihat setiap malaikat, dan mampu mengatur alam ini. Tidak penting dalam ajaran tasawuf sekiranya syari’at seorang sufi bertentangan dengan kenyataan syari’at Nabi Muhammad saw. Maka, khamar, berbaurnya lelaki dan wanita dalam halaqah atau majelis dzikir, semua itu tidak penting karena seorang sufi memiliki syari’atnya sendiri-sendiri yang terima langsung dari Allah.

b. Syari’at Tasawuf tentang Perkara Halal dan Haram
tidak ada sesuatu yang haram bagi penganut wihdatul wujud dalam ajaran tasawuf, karena setiap sesuatu pada hakikatnya adalah satu. Oleh karenanya, diantara mereka ada yang pezina dan homoseks, ada yang menyetubuhi keledai-keledai secara terang-terangan, serta ada yang berkeyakinan bahwa Allah telah membebaskan tanggungjawab darinya dan menghalalkan apa yang Allah haramkan pada orang lain.

c. Syari’at tentang Pemerintahan, Kekuasaan dan Politik
Dalam masalah pemerintahan, penguasa, dan politik, ajaran sufistik berpaham untuk tidak memerangi kejahatan dan tidak menentang sultan-sultan karena dalam kepercayaan mereka Allah telah menempatkan setiap hamba pada tempat yang Dia kehendaki.

d. Syari’at tentang Pendidikan
Ini dalah salah satu sayari’at sufistik yang sangat berbahaya, sebab mereka memnguasai akal manusia dan mengabaikannya. Mereka melakukannya dengan cara memasukan sufi pemula dalam tarekat berjenjang yang dimulai dari penghambaan, pengagungan hal-ihwal tasawuf dan para tokohnya, kemudian dengan talbis ’menampakan sesuatu sebaliknya’ pada seseorang, menceburkan diri pada ilmu-ilmu tasawuf sedikit demi sedikit, kemudian dengan mengikatkan diri pada tarekat tertentu dan menutup jalan keluar dari tarekat tersebut.

Referensi

1. Syeikh Abdur Rahman Abdul Khaliq, al-Fikru as-Sufi, Terj. Ahmad Misbach, Jakarta: Robbani Press, 2001
2. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 2002
3. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf; Kritik Ibn Taimiyah Atas Rancang Tasawuf, Surabaya: JP Books, 2007
4. Ihsan Ilahi Zhahir, Tasawuf…! Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi: menggugat Ajaran tasawuf, Jakarta: Darul Haq, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com