Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

9 Mei 2009

Fenomena Perjuangan Penegakkan Syari'at Islam Di Indonesia


Oleh : Lukman Abu Waznah

Pendahuluan
Menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.
Allah berfirman :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”(Q.S. Al-ahzab/33:36) .

Demikian pula Rasulullah Saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:
لاَيُؤمِنُ اَحَدُ كُم حَتَّى يَتَّبِعُ هَوَاهُ لِمَاجِئتُ بِهِ.
“Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” .

Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syari’at-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan .
Selain ayat-ayat, hadis dan keterangan ulama diatas masih banyak ayat lain yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan Syari’at Islam dan menegakkannya di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai sumber hukum. Maka dari sini penerapan Syariat Islam bagi umat Islam merupakan sesuatu yang mendesak untuk segera dilaksanakan .


Pengertian Syari’at Islam
Syaria’at Islam merupakan keseluruhan dari ajaran agama Islam (addînul kâmil) sebagai jalan hidup yang digariskan oleh Allah Swt, seperti yang disampaikan kepada nabi Muhammad Saw. Inilah yang disebut Syeikh Abdurrahman Taaj (mantan Syeikhul Azhar) sebagai jalan yang menjamin terciptanya kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhitrat (sa’adatud-dâraini). Perintah untuk menegakkan agama atau menjalankan hidup pri-kehidupan sesuai dengan tuntunan Syari’at Islam sangatlah jelas tertulis dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah Saw seperti yang terdapat dalam surat As-Syura ayat 13:
                       

“Dia telah menSyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apayng kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan isa : tegakkanlah din (agama) dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya...” (Q.S. Asy-Syura/42 : 13).

a. Pengertian Syari’at Islam Secara Etimologi
Kata Syari’at terbentuk dari kata bahasa Arab شريعة/شرع – يشرع –شرعا yang berarti undang-undang atau peraturan . Kata “Syari’at” secara etimologi mempunyai dua pengertian, yaitu: Pertama, Syari’at adalah jalan yang lurus, firman Allah Ta’ala:
      •      

“Kemudian kami jadikan jalan yang lurus kepadamu, maka ikutilah jalan itu (Q.S. Al-Jatsiah: 18).

Kedua, Syari’at adalah tempat (sumber) mengalirnya air yang dipakai untuk minum, sebagaimana perkataan orang Arab, “Maka unta itu berjalan, ketika unta itu mendatangi tempat/sumber air.”

b. Pengertian Syari’at Islam Secara Terminologi
Dalam memberikan pengertian Syari’at Islam dari segi terminologi, para fuqoha (ahli fiqih) berbeda-beda dalam pembatasannya, walaupun pengertian-pengertian yang diberikan tidak jauh berbeda maksud dan tujuannya, diantaranya
1. Imam Abu Hanifah
Syari’at adalah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang bersumber pada wahyu Allah. Hal ini adalah tidak lain sebagai bagian dari ajaran Islam.
2. Imam Idris As-Syafi’i
Syari’at merupakan peraturan-peraturan lahir batin bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu Allah dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari wahyu Allah dan sebagainya. Peraturan-peraturan lahir itu mengenai cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah dan dengan sesama makhluk.
3. Imam Abu Ishaq Asy Syatibi
Bahwa arti Syari’at itu sesungguhnya menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf, dalam segala perbuatan, dan aqidah mereka.
4. Syekh Muhammad Ali At Thahanawi
Syari’at Islam ialah segala yang diSyari’atkan Allah untuk para hambanya dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh seorang nabi Allah Alaihimus shalatu wassalam baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya dan disebut dengan far’yah 'amaliah lalu dihimpun dalam ilmu fiqhi; atau cara beraqidah, yang disebut dengan pokok aqidah, dan dihimpun ilmu kalam, dan Syari’at ini dapat disebut juga dengan “dîn”(agama), dan “millah”.
5. Prof. Dr. Muhammad Saltud
Syari’at ialah segala peraturan yang diSyari’atkan Allah, atau Ia telah menSyari’atkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya untuk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhannya, berkomunikasi dengan sesama manusia, berkomunikasi dengan alam, dan berkomunikasi dengan kehidupan.
Melihat makna Syari’at Islam di atas, baik makna secara etimologi maupun terminologi, kedua-duanya sama-sama menuju kepada kemaslahatan dan kemanfaatan. Tafsir Abu Su-’ud yang diberi komentar oleh Al-Fakhrur Razi, menyebutkan bahwa orang yang menjalankan Syari’at Allah Swt tak ubahnya laksana seorang berjalan menuju mata air, dimana ia akan mendapatkan kehidupan yang bersih, secara lahir yang berdampak pada kebugaran bathinnya. Sumber air membawa pada kehidupan fisik yang segar dan bersih, sedangkan Syari’at Allah membawa kepada kehidupan rohaniah dan kesucian jiwa.

Perjuangan Penegakkan Syari'at Islam di Indonesia
Sehubungan dengan perjuangan penegakkan Syari’at Islam di Indonesia, sejak awal masuknya Islam ke Nusantara, ia telah mengalami pasang surut. Salim Segaf Al-Jufri mengutip tulisan Muhammad Iqbal mengatakan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia abad ke-7, penerapan Syari’at Islam sudah berlangsung dibeberapa kerajaan di Nusantara baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara .

1. Upaya Penegakkan Syari'at Islam di Awal Kemerdekaan
Upaya penegakkan Syari’at Islam melalui jalur parlemen di Indonesia dimulai sejak awal kemerdekaan RI. Upaya penerapan Syari’at Islam melalui jalur ini ditandai dengan perdebatan ideologis yang sengit oleh sebahagian anggota Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya yang pertama. Disana kelompok “nasionalis Islam” dengan kelompok “nasionalis sekuler” berdebat masalah dasar negara apa yang akan diberlakukan di negara Indonesia. Kelompok nasionalis sekuler mengajukan agar negara Indonesia kelak berdasarkan kebangsaan sedangkan kelompok nasionalis Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara .
Untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan itu akhirnya dibentuklah satu panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang yang mewakili dua kelompok dalam BPUPKI sehingga dikenal dengan nama Panitia Sembilan , diketuai oleh Soekarno dengan tugas mengumpulkan usul-usul para anggota dan mempelajarinya. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kompromi dalam bentuk Rancangan Pembukaan UUD dengan menambahkan tujuh kata pada anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan Syari’atIslam bagi pemeluk-pemeluknya”. Klausul ini dikemudian hari terkenal dengan nama Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) yang pada akhirnya Rancangan Pembukaan UUD tersebut, diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 .
Sayangnya, tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dalam rumusan kompromis itu dihapus pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sesudah proklamasi.
Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, serta kata Allah diganti dengan Tuhan dan kata muqaddimah diubah menjadi pembukaan dianggap sebagai kekalahan yang menyakitkan dan membuat kekecewaan yang sangat dalam bagi umat Islam. Maka pada tanggal 7 dan 8 November 1945 tokoh-tokoh Islam yang dipimpin oleh Mohammad Natsir mendirikan partai Masyumi sebagai wadah memperjuangkan Syari’at Islam melalui parlemen .
Setelah pemilu tahun 1955 isu Syari’at Islam kembali menggema di gedung parlemen, wakil-wakil Islam dalam konstituante terus berusaha untuk memasukkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta kedalam kostitusi permanen Indonesia, yang kembali mengundang pro dan kontra serta perdebatan yang sengit antara kelompok sekuler dan kelompok Islam. Akan tetapi, untuk kali yang kedua Syari’at Islam ditolak dari parlemen dengan keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959, bahkan hingga lengsernya Presiden Soekarno pada tahun 1965 Syari’at Islam tak lagi dibahas di parlemen. Ini pun terus berlangsung pada masa Orde Baru yang pada akhirnya isu Piagam Jakarta hilang dari pentas nasional tahun 1968 karena tindakan represip Presiden Soeharto terhadap tokoh-tokoh dan politisi Islam .
Berbeda dengan M. Natsir dan tokoh-tokoh Islam lainnya dalam memperjuangkan Syari’at Islam melalui parlemen, Kartosuwirjo lebih memilih untuk menegakkan Syari’atIslam di luar pemerintahan dengan memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian diikuti oleh Abdul Kahhar Muzakkir di Sulawesi Selatan. Karena kekecewaannya terhadap TNI di tambah keinginan yang kuat untuk mendirikan negara Islam, maka pada tanggal 7 Agustus 1953 ia juga melakukan hal yang sama . Sedangkan di Aceh para ulama yang dipimpin oleh Daud Beureueh juga memproklamirkan bahwa Aceh dan sekitarnya menjadi bagian dari NII, tepatnya tanggal 21 September 1953 karena kekecewaan terhadap pemerintah dan tekad yang kuat untuk menerapkan hukum Islam di Aceh.

2. Upaya Penegakkan Syari'at Islam Pasca Reformasi
Setelah sekian puluh tahun isu penerapan Syari’at Islam hilang dari pentas nasional, maka pada era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998, penerapan Syari’at Islam di Indonesia kembali disuarakan kaum Muslimin baik melalui parlemen maupun di luar parlemen. Seperti yang terjadi di parlemen ketika sidang tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, dimana Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) dengan konsisten memperjuangkan masuknya kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta kedalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi usulan ini pun kembali mendapat penentangan dan pro-kontra dikalangan anggota dewan maupun masyarakat secara umum yang pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya.
Tidak berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat (1) tidak menyurutkan semangat kalangan pendukung Piagam Jakarta untuk terus memperjuangkan penegakkan Syari’at Islam baik dalam forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat . Ormas-ormas Islam seperti, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad Al Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam Indonesia (PII). Serta masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da’wah yang turut menyeuarakan penerapan Syari’at Islam .
Begitupula dengan sejumlah daerah di seluruh Nusantara, mereka turut berjuang menuntut penerapan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing, Seperti Sulawesi Selatan, Aceh, Tasikmalaya, Banten, Sukabumi, Cianjur, Minang, dan Kalimantan Selatan .

Landasan dan Dasar Hukum Penerapan Syari'at Islam di Indonesia
Undang-undang atau peraturan merupakan implementasi sarana demokrasi dan sarana komunikasi timbal balik antara Undang-undang atau peraturan itu dengan masyarakat.
Oleh karena perundang-undangan adalah sarana komunikasi dan demokrasi antara undang-undang itu sendiri dengan masyarakat, maka sekurang-kurangnya dalam penyusunan undang-undang atau peraturan harus memiliki tiga landasan dalam pembuatannya.

Pertama, Landasan yuridis, yaitu landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan, apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan atau undang-undang karena akan menunjukan adanya wewenang pembuat peraturan tersebut, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-unangan dengan materi yang diatur, mengikuti tata cara tertentu, dan tidak bertetangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Kalau tidak, maka perturan perundang-undangan itu akan batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Mengenai penerapan syari'at Islam dalam bentuk peraturan atau undang-undang secara formal telah memiliki dasar landasan yuridis ini, yaitu :
1. UUD 1945, yang dijiwai oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dekrit ini sangat jelas menerangkan posisi Piagam Jakarta sebagai sumber hukum di Indonesia. Sebgai menguat disini akan disebutkan beberapa pernyataan bebraa tokoh seputar Piagam Jakarta ini. Pertama, Dr. Roeslan Abdul Gani, seorang tokoh utama NI dalam kedudukannya sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung selaku Pembina Jiwa Revolusi menulis:
“Tegas-tegas dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara historis-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita, yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.
Kedua, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang tokoh NU dalam kedudukannya sebagai Mentri Agama menegaskan bahwa :
“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Piagam yang jadi engobart dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyaio kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.”
2. Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negri (IAIN), yang mencantumkan sebagai pertimbangan pertama “bahwa sesuai Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945, yang menjiwai Undang-undangf Dasar 1945 dan merupakan rankaian kesatuan dengan konstitusi tersebut...”
3. Keputusan Mentri Agama No. 56/1967 tentang perincian struktur organisasi , tugas dan wewenang Departemen Agama. Yang antara lain menyebutkan : “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam jakarta dalam hubungannya dsengan UUD.”(Pasal 1, ayat 1-d).

Kedua, Landasan Sosiologis (Sosiologische Gronsleg). Suatu peraturan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti bahwa peraturan yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada prinsipnya hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya. Tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak ditaati dan dipatuhi. Maka secara sosiologis pemberlakukan syari’at Islam di Indonesia memiliki dasar ini, sebab bangsa Indonesia adalah mayoritas ummat Islam yang tentunya nilai-nilai dan hukum Islam sudah menjadi pemahaman masyarakat.
Ketiga, Landasan Filosofis (filosofische Gronngslag). Pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika yang pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dari suatu daerah tertentu. Di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
Peraturan atau undang-undang tentang penerapan syari’at Islam dikatakan mempunyai landasan filosofis apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran, dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik.

Tantangan Penerapan Syari'at Islam di Indonesia
Perlu diingat bahwa muara dari penentangan terhadap penerapan Syari’at Islam di Indonesia, terutama pada Era Reformasi ini adalah lebih pada semakin kokohnya idiologi sekularisme mencengkram kaum muslimin di berbagai lini kehidupan, yang secara sederhana dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Bidang PemikiranKeagamaan; menguatnya liberalisasi Islam.
Kita dapat melihat semakin genjarnya kalangan Islam Liberal mengupayakan liberalisasi Islam, melakukan desakralisasi al-Qur’an, dan menjungkirbalikan hukum-hukum Islam. Luthfi Asy-Syaukani, salah seorang tokoh JIL pernah menyebutkan empat agenda utama lahirnya Islam Liberal: Pertama, agenda politik. Dimana kaum muslimin diarahkan untuk mempercayai sekularisme dan menolak sistem pemerintahan Islam. Kedua, agenda pluralisme. Bahwa semua agama benar. Ketiga, agenda emansipasi wanita. Dengan menggencarkan kesetaraan jender. Keempat, agenda kebebasan berekspresi. Diopinikan hak untuk mengekspresikan perilaku tampa harus dibatasi oleh norma-norma yang ada dengan alasan HAM.
2. Bidang Pendidikan Islam: dijadikannya Islam Moderat dan Islam Liberal sebagai arus utama.
Memberi bantuan kepada madrasah, pesantren dengan dalih memajukan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu program pemerintah Amerika dan negara-negara barat lainnya. Yang tentu saja semua itu dilakukan untuk dapat menginterpensi kurikulum pesantren, membeli para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam serta menciptakan ulama-ulama palsu untuk meredam dan menghadapi sentimen-sentimen anti Amerika yang semakin meningkat di dunia Islam.
3. Bidang Politik; dijadikannya tokoh dan partai Islam sebagai alat pemukul gerakan pro-syari’at Islam.
Meski tidak pernah menjadi pemenang dalam pemilu, keberadaan partai-partai Islam di lembaga legislatif tetap memiliki daya tawar yang tinggi. Fenomena politik mutakhir bahkan menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam dan partai islam dapat menduduki posisi-posisi yang strategis seperti menjadi mentri, pimpinan MPR dan lain sebagainya. Tapi ironisnya suara-suara mereka tidak terdengar lagi dalam menyuarakan penerapan syari’at Islam.
Bahkan ada sinyalemen, keberadaan sejumlah tokoh Islam di lingkaran legislatif dan eksekutif malah menjadi alat ‘alat pemukul” yang efektif bagi gerakan-gerakan pro-syari’at Islam di luar parlemen dan pemerintahan.
4. Bidang Pemerintahan; dipertahankannya sekularisme sebagai asas negara.
Di bidang ini, tantangan berat bagi perjuangan penegakan syari’at Islam tentu saja adalah masih akan tetap dipertahankannya sekularisme sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD sekular sebagai sumber konstitusi negara, dan demokrasi sebagai pilar dalam menjaga dan memelihara sekularisme.
5. Bidang hukum; menjungkibalikan hukum-hukum Islam.
Yang paling nyata dari bidang ini adalah kasus dibuatnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum islam(KHI). Dengan sokongan dana yang sangat besar dari barat, para pengusung Islam Liberal ini, berani mencungkirbalikan hukum Islam, seperti : nikah bukan ibadah, poligami dilarang, nikah sesama jenis dibolehkan dan sebagainya.
6. Bidang Sosial-Budaya; justifikasi perilaku sosial budaya sekular.
Contoh kasusnya adalah pembelaan terhadap goyangan yang mempertontonkan aurat atas nama seni, justifikasi atas homoseksual, pengauatan atas kesetaraan jender dan lain sebagainya.
7. Bidang Ekonomi; pemaksaan globalisasi oleh AS
Globalisasi merupakan cara lain AS melakukan imprealisme, dan Indonesia jelas sudah masuk ke dalam perangkap rancangan AS ini. Salah satunya adalah indonesia ke depan disinyalir akan tetap menjamin terjadinya proses liberalisasi ekonomi.
8. Bidang Hankam; tekanan AS dalam kasus terorisme di Indonesia
Peristiwa 11 September 2001 jelas menjadi justifikasi bagi Amerika untuk mengukuhkan dirinya sebagai “polisi dunia”. Indonesia jelas menjadi salah satu sasaran bidik AS, terbukti dengan tekan yang terus-menerusnya dilakukan terhadap Indonesia untuk lebih tegas dalam memerangi terorisme.

Penutup
Menda’wahkan tegaknya Syari’at Islam dan mengaplikasikannya baik secara individu, keluarga, bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Dan hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dianggap remeh. Menegakkan syari’at Islam adalah pekerjaan besar yang membutuhkan keseriusan, kecerdikan, semangat yang membaja dan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam usaha penerapan syari’at Islam di Indonesia secara struktural, diperlukan terobosan-terobosan atau strategi-strategi baru dalam upaya penerapannya di tengah-tengah masyarakat.
Salah satunya adalah dengan memanfaatkan Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, dimana dalam undang-undang tersebut diatur tentang kebebasan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan urusan rumah tangganya sendiri, yang bersumber pada otonomi dan tugas perbantuan, seperti membuat perda yang berlandaskan syari’at islam dan lain sebagainya.
Selain itu untuk membendung pergerakan libealisasi Islam yang semakin genjar dilakukan oleh Jaringan Islam Liberal diperlukan kerja sama yang terorganisir dengan baik oleh semua eleman umat Islam, dan penyiapan SDM yang tangguh untuk bisa mengadang laju gerakan penyesatan yang meraka lakukan.



Referensi :
1. Muhammad Ali Ash-Shobuni, Shafwatu tafasir, Beirut : Darul qur’anul karim, 1981, Cet. IV, Jilid 2.
2. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam, terj. Muhammad Thalib, Jogjakarta : Wihdah Press, 2003, Cet. I,
3. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Aplikasi Syari’at Islam, Jakarta: 2002, Darul Falah, terj. Kathur Suhardi, Cet. 1
4. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP, 1997
5. Salim Segaf Al-Jufri, et. al., Penerapan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004, Cet. 1
6. Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT.Hidakarya Agung, 1989
7. Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fiqih Islam, terj. Nurhadi AGA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, Cet. I
8. Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar grafika (edisi revisi), 2004, Cet. I
9. H. Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fighi, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. I
10. Umar Basalim, Pro-Kontra piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, 2002, Cet.I
11. Thohir Luth, Mohammad Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, Cet. I
12. Hendra Gunawan, M. Natsir Darul Islam, Jakarta : Media Da’wah, 2000, Cet. I
13. Rifyal Ka’bah, Politik & Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta : Khaerul Bayan, 2005, Cet. I
14. Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Karto Soewirjo, Jakarta : Darul Falah, 1999, Cet. II
15. M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureu-eh dalam Pergerakan Aceh, Jakarta : Media Da’wah, 2001 (Edisi Revisi)
16. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Press, 2005. Cet. 1
17. Adian Husaini, Piagam Jakarta: Solusi Konflik Agama di Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam acara seminar sehari tentang ”Piagam Jakarta: Solusi atau Problem” tanggal 22 Juni 2006 di Gedung Menara Da’wah Jakarta.
18. Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 makassar, Vol. 5, No.2, 2004
19. Majalah Sabili, Edisi 20 TH.XII, 21 April 2005
20. Majalah Media Da’wah, Jumadil Awal 1427 H/ Juni 2006
21. http://www.osolihin.wordpress.com
22. http://www.swaramuslim.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com