Selamat Datang Di Media Online Abu Waznah "Sebaik-Baik Kalian Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain"

15 Okt 2008

Tantangan Penerapan Syari’at Islam Di Indonesia

Pendahuluan
Kerusakan moral, prilaku-prilaku yang menyimpang dari Syari’at Islam kini banyak dilakukan oleh umat Islam sendiri, dan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Padahal kita mengetahui bahwa Allah Swt. menurunkan al- Islam, sebagai pedoman hidup. Tapi pada kenyataannya sebagian besar kaum muslimin tidak menjalankan apa yang telah diatur dalam Islam. Ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya sendiri.

Untuk itulah, al- Islam yang berisi aqidah, Syari’at dan akhlak wajib dida'wahkan baik secara kultural maupun struktural, dengan tujuan agar umat manusia hanya beribadah dan berhukum kepada hukum Allah. Sebab tujuan dari penciptaan manusia dan jin itu sendiri adalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
     
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Q.S. Azd-Dzariyat/51 : 56).

Ketika mengomentari arti ibadah Syeikh Bin Baz mengutip pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Bahwa:
"Ibadah adalah suatu kata yang pengertiannya mencakup segala yang dicintai oleh Allah dan diridhoiNya, baik perkataan dan perbuatan lahir maupun bathin. Hal ini menunjukan bahwa ibadah itu mengharuskan ketundukan mutlak kepada Allah Swt, baik terhadap perintah, larangan, masalah kepercayaan, perkataan maupun perbuatan" .

Tetapi dalam kenyataannya manusia banyak melakukan penyimpangan dari apa yang disyari’atkan Allah Swt, oleh sebab itu Dia mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mengingatkan manusia agar hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi segala peribadatan kepada thogût . Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya
    •      
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut...” (Q.S. An-Nahl/16:36).

Menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.
Allah berfirman :
         •       
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”(Q.S. Al-ahzab/33:36) .

Demikian pula Rasulullah Saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:
لاَيُؤمِنُ اَحَدُ كُم حَتَّى يَتَّبِعُ هَوَاهُ لِمَاجِئتُ بِهِ.
“Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” .

Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syari’at-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan .

Tantangan Di Awal Kemerdekaan
Upaya Penegakkan Syari’at Islam di Indonesia di awal kemerdekan R.I, dapat dilihat pada saat pembahasan dasar nagara di parlemen. Upaya penerapan Syari’at Islam melalui jalur parlemen ini ditandai dengan perdebatan ideologis yang sengit oleh sebahagian anggota Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya yang pertama. Disana kelompok “Nasionalis Islam” dengan kelompok “Nasionalis Sekuler” berdebat masalah dasar negara apa yang akan diberlakukan di negara Indonesia. Kelompok nasionalis sekuler mengajukan agar negara Indonesia kelak berdasarkan kebangsaan sedangkan kelompok nasionalis Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara .
Untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan itu akhirnya dibentuklah satu panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang yang mewakili dua kelompok dalam BPUPKI sehingga dikenal dengan nama Panitia Sembilan , diketuai oleh Soekarno dengan tugas mengumpulkan usul-usul para anggota dan mempelajarinya. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kompromi dalam bentuk Rancangan Pembukaan UUD dengan menambahkan tujuh kata pada anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan Syari’atIslam bagi pemeluk-pemeluknya”. Klausul ini dikemudian hari terkenal dengan nama Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) yang pada akhirnya Rancangan Pembukaan UUD tersebut, diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 .
Sayangnya, tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syari’atIslam bagi pemeluk-pemeluknya”, dalam rumusan kompromis itu dihapus pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sesudah proklamasi.
Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, serta kata Allah diganti dengan Tuhan dan kata muqaddimah diubah menjadi pembukaan dianggap sebagai kekalahan yang menyakitkan dan membuat kekecewaan yang sangat dalam bagi umat Islam. Maka pada tanggal 7 dan 8 November 1945 tokoh-tokoh Islam yang dipimpin oleh Mohammad Natsir mendirikan partai Masyumi sebagai wadah memperjuangkan Syari’at Islam melalui parlemen .
Setelah pemilu tahun 1955 isu Syari’at Islam kembali menggema di gedung parlemen, wakil-wakil Islam dalam konstituante terus berusaha untuk memasukkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta kedalam kostitusi permanen Indonesia, yang kembali mengundang pro dan kontra serta perdebatan yang sengit antara kelompok sekuler dan kelompok Islam. Akan tetapi, untuk kali yang kedua Syari’at Islam ditolak dari parlemen dengan keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959, bahkan hingga lengsernya Presiden Soekarno pada tahun 1965 Syari’at Islam tak lagi dibahas di parlemen. Ini pun terus berlangsung pada masa Orde Baru yang pada akhirnya isu Piagam Jakarta hilang dari pentas nasional tahun 1968 karena tindakan represip Presiden Soeharto terhadap tokoh-tokoh dan politisi Islam .
Berbeda dengan M. Natsir dan tokoh-tokoh Islam lainnya dalam memperjuangkan Syari’at Islam melalui parlemen, Kartosuwirjo lebih memilih untuk menegakkan Syari’at Islam di luar pemerintahan dengan memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Kemudian diikuti oleh Abdul Kahhar Muzakkir di Sulawesi Selatan. Sedangkan di Aceh para ulama yang dipimpin oleh Daud Beureueh juga memproklamirkan bahwa Aceh dan sekitarnya menjadi bagian dari NII. Tapi usaha-usaha ini pun diberangus oleh pemerintah orde Lama melalui kekuatan mieliter.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tantangan terberat dalam usaha penerapan syari’at Islam pada Era awal kemerdekaan ini adalah lebih pada ketakutan yang bersifat emosional dan membabi buta oleh pihak Kristen terhadap syari’at Islam. Sehingga apapun yang berbau Piagam Jakarta selalu ditolak mentah-mentah, yang dapat dilihat dalam kasus penolakan terhadap RUU Peradilan agama tahun 1989 dan juga RUU Pendidikan Nasional.

Tantangan Pasca Reformasi
Memasuki Era Reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998, penerapan Syari’at Islam di Indonesia kembali disuarakan kaum Muslimin baik melalui parlemen maupun di luar parlemen. Di parlemen saat sidang tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) dengan konsisten memperjuangkan masuknya kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta kedalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi usulan ini pun kembali mendapat penentangan dan pro-kontra dikalangan anggota dewan maupun masyarakat secara umum yang pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya.
Tidak berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat (1) tidak menyurutkan semangat kalangan pendukung Piagam Jakarta untuk terus memperjuangkan penerapan Syari’at Islam baik dalam forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat . Ormas-ormas Islam seperti, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al Irsyad Al Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam Indonesia (PII). Serta masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da’wah yang turut menyeuarakan penerapan Syari’at Islam .
Perlu diingat bahwa muara dari penentangan terhadap penerapan Syari’at Islam di Indonesia, terutama pada Era Reformasi ini adalah lebih pada semakin kokohnya idiologi sekularisme mencengkram kaum muslimin di berbagai lini kehidupan, yang secara sederhana dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Bidang Pemikiran Keagamaan; menguatnya liberalisasi Islam.
Kita dapat melihat semakin genjarnya kalangan Islam Liberal mengupayakan liberalisasi Islam, melakukan desakralisasi al-Qur’an, dan menjungkirbalikan hukum-hukum Islam.
Luthfi Asy-Syaukani, salah seorang tokoh JIL pernah menyebutkan empat agenda utama lahirnya Islam Liberal: Pertama, agenda politik. Dimana kaum muslimin diarahkan untuk mempercayai sekularisme dan menolak sistem pemerintahan Islam. Kedua, agenda pluralisme. Bahwa semua agama benar. Ketiga, agenda emansipasi wanita. Dengan menggencarkan kesetaraan jender. Keempat, agenda kebebasan berekspresi. Diopinikan hak untuk mengekspresikan perilaku tampa harus dibatasi oleh norma-norma yang ada dengan alasan HAM.
2. Bidang Pendidikan Islam: dijadikannya Islam Moderat dan Islam Liberal sebagai arus utama.
Memberi bantuan kepada madrasah, pesantren dengan dalih memajukan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu program pemerintah Amerika dan negara-negara barat lainnya. Yang tentu saja semua itu dilakukan untuk dapat menginterpensi kurikulum pesantren, membeli para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam serta menciptakan ulama-ulama palsu untuk meredam dan menghadapi sentimen-sentimen anti Amerika yang semakin meningkat di dunia Islam.
3. Bidang Politik; dijadikannya tokoh dan partai Islam sebagai alat pemukul gerakan pro-syari’at Islam.
Meski tidak pernah menjadi pemenang dalam pemilu, keberadaan partai-partai Islam di lembaga legislatif tetap memiliki daya tawar yang tinggi. Fenomena politik mutakhir bahkan menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam dan partai islam dapat menduduki posisi-posisi yang strategis seperti menjadi mentri, pimpinan MPR dan lain sebagainya. Tapi ironisnya suara-suara mereka tidak terdengar lagi dalam menyuarakan penerapan syari’at Islam.
Bahkan ada sinyalemen, keberadaan sejumlah tokoh Islam di lingkaran legislatif dan eksekutif malah menjadi alat ‘alat pemukul” yang efektif bagi gerakan-gerakan pro-syari’at Islam di luar parlemen dan pemerintahan.
4. Bidang Pemerintahan; dipertahankannya sekularisme sebagai asas negara.
Di bidang ini, tantangan berat bagi perjuangan penegakan syari’at Islam tentu saja adalah masih akan tetap dipertahankannya sekularisme sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD sekular sebagai sumber konstitusi negara, dan demokrasi sebagai pilar dalam menjaga dan memelihara sekularisme.
5. Bidang hukum; menjungkibalikan hukum-hukum Islam.
Yang paling nyata dari bidang ini adalah kasus dibuatnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum islam(KHI). Dengan sokongan dana yang sangat besar dari barat, para pengusung Islam Liberal ini, berani mencungkirbalikan hukum Islam, seperti : nikah bukan ibadah, poligami dilarang, nikah sesama jenis dibolehkan dan sebagainya.
6. Bidang Sosial-Budaya; justifikasi perilaku sosial budaya sekular.
Contoh kasusnya adalah pembelaan terhadap goyangan yang mempertontonkan aurat atas nama seni, justifikasi atas homoseksual, pengauatan atas kesetaraan jender dan lain sebagainya.
7. Bidang Ekonomi; pemaksaan globalisasi oleh AS
Globalisasi merupakan cara lain AS melakukan imprealisme, dan Indonesia jelas sudah masuk ke dalam perangkap rancangan AS ini. Salah satunya adalah indonesia ke depan disinyalir akan tetap menjamin terjadinya proses liberalisasi ekonomi.


8. Bidang Hankam; tekanan AS dalam kasus terorisme di Indonesia
Peristiwa 11 September 2001 jelas menjadi justifikasi bagi Amerika untuk mengukuhkan dirinya sebagai “polisi dunia”. Indonesia jelas menjadi salah satu sasaran bidik AS, terbukti dengan tekan yang terus-menerusnya dilakukan terhadap Indonesia untuk lebih tegas dalam memerangi terorisme.

Penutup
Menda’wahkan tegaknya Syari’at Islam dan mengaplikasikannya baik secara individu, keluarga, bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Dan hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dianggap remeh. Menegakkan syari’at Islam adalah pekerjaan besar yang membutuhkan keseriusan, kecerdikan, semangat yang membaja dan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam usaha penerapan syari’at Islam di Indonesia secara struktural, diperlukan terobosan-terobosan atau strategi-strategi baru dalam upaya penerapannya di tengah-tengah masyarakat.
Salah satunya adalah dengan memanfaatkan Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, dimana dalam undang-undang tersebut diatur tentang kebebasan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan urusan rumah tangganya sendiri, yang bersumber pada otonomi dan tugas perbantuan, seperti membuat perda yang belandaskan syari’at islam.
Selain itu untuk membendung pergerakan libealisasi Islam yang semakin genjar dilakukan oleh Jaringan Islam Liberal diperlukan kerja sama yang terorganisir dengan baik oleh semua eleman umat Islam, dan penyiapan SDM yang tangguh untuk bisa mengadang laju gerakan penyesatan yang meraka lakukan.(Abu Waznah)

Wallahu Álam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ 2008 By Abu Waznah
Template by : kendhin x-template.blogspot.com